Postingan

Keluarga Kedua

Gambar
Sudah genap dua bulan kami tinggal di rumah ini, setelah Ayah dipindahtugaskan oleh kantor pusat ke kantor cabang yang berada di pedalaman sebuah kota yang berbeda dengan kota yang sebelumnya kami tinggali. Pada waktu Ayah memberitahukan rencana kepindahan itu, Ibu-lah yang paling antusias dengan itu, mungkin karena sudah hampir dua puluh tahun lamanya ia tinggal menetap di perkotaan yang suasananya terlalu ramai namun bersifat individual. Jadi mungkin ia merasa sangat merindukan suasana pedesaan yang lebih tenang, damai dan kekeluargaan. Namun, hal itu diluar angan-angan Ibu, sebab suasana di tempat kami tinggal sangatlah sepi, terutama ketika malam. Rumah-rumah penduduk juga lumayan jauh dari rumah dinas yang kami tempati. Sebenarnya rumah yang kami tinggali ini bukanlah rumah dinas yang direkomendasikan oleh kantor lama Ayah. Namun oleh kantor barunya, Ayah dialihkan ke rumah ini dengan pertimbangan jaraknya lebih dekat dengan kantornya yang sekarang itu. Sebenarnya rumah ini tam...

Lenyap Bersama Tenggelamnya Senja

Gambar
  Semilir angin meresonansi lewat dersik-dersik reranting pohon mangga lantas menelusup masuk ke dalam ruang-ruang batin. Lamat-lamat ia menghirup nafas-nafas tanaman di sekitarnya berkali-kali, memang tak ada yang secandu aroma tanah ketika mendung sukar untuk ditolak kedatangannya. Ah! benar saja sore ini, sudah memasuki September akhir, tandanya sebentar lagi akan musim hujan. Udara mulai sedikit menggigilkan tengkuk, terkadang gencar mengadu domba gorden-gorden rumah yang melambai-lambaikan kerisauan. September memang pandai mengaduk perasaan, membuat dun-daun yang menua menjadi resah begitupun juga dengan perasaan gadis yang duduk di sebuah bangku panjang bersama sesosok pria yang sangat ia kenali perangainya. Namun, lagi lagi ia tak berani menatap langsung wajah pria yang pernah ia puja. Karena ia merasa terlalu lancang untuk mengamati raut-raut di wajah pria itu.  Tidak dengan daun-daun sudah mulai berguguran memenuhi bangku tua yang sedang mereka duduki bersama, bagi g...

A Glimpses of Us

Gambar
Recreate from EN-Drama Series           Bagi lelaki bermata elang itu, bangun pagi masih menjadi musuhnya. Jadi sudah tidak heran kalau terlambat datang ke sekolah sudah menjadi kesehariannya. Dan untuk mengindari hukuman dari guru BK, Jay selalu menggunakan keahliannya untuk melompati tembok samping gedung sekolahnya. Bahkan hari itu pun sama dengan sebelum-sebelumnya, ia selalu dan sepertinya akan terus menggunakan jalur dan cara yang sama. Namun sialnya, hari itu kerah belakang bajunya tersangkut pada ranting pohon Bugenville yang berada di sekitar tembok itu. Karena memang sifatnya yang tidak sabaran, ia pun menarik paksa ranting itu agar terlepas dari kerah bajunya, namun ketidakseimbangan tubuhnya yang menyebabkan dirinya terpleset dan akhirnya jatuh ke tanah.            Dan seperti kesialan terus bertubi-tubi pada waktu yang sama, peristiwa memalukan itu disaksikan oleh seorang teman satu kelas sekaligus gadis yang ia taksir...

Tinker Bell di Ladang Tebu

Gambar
  Hari itu senja hampir berada di ujung nasibnya. Udara pun sedang berusaha menggigilkan tengkuk leherku. Ditambah dengan anak-anak kabut mulai turun secara bergantian dan mulai menjamah jarak terjauh yang sebelumnya bisa aku gapai. Atap-atap rumah warga juga mulai lembab dan warna tebing menjadi lebih mengkilap dari biasanya. Di sisi lain, sepasang kakiku saling berlomba untuk menebas jarak. Desir-desir angin berbisik di antara suara tapak sepatuku dan juga di antara tarian rumput-rumput liar yang saling menyorakiku kala itu. Mereka adalah saksi atas kegiranganku sore itu, kegirangan yang membuat aku terus berlari tanpa henti, seperti tengah menantang matahari yang juga sedang berada dalam perjalanan pulang menuju peraduannya. Aku tak peduli meski beberapa kali kakiku tersandung karena terus bersinggungan dengan jalan yang tak rata, dan yang hanya ada di pikiranku kala itu adalah kemenanganku atas matahari sebelum malam lebih dulu melumat hari. Gejolak langkahku semakin kencang ke...

La Vie En Rose

Gambar
Sejak saat itu, malam menjadi semakin serakah. Ia tidak hanya telah merampas suara angin dari telingaku, tetapi juga menjarah hak-hak kantuk yang harus di-nina bobok-an. Di sisi lain, berbagai macam gempuran emosi tak kunjung reda, tengah mengguyur batinku seperti rebas hujan yang saling memaki bumi.  Hampir setiap malam, aku merasakan sesak yang memenuhi dadaku. Hingga hari ini pun sesak itu tak kunjung berkurang sedikitpun. Rasa marah, kesal, sedih dan takut terus menjejal di setiap aliran darahku. Mereka saling riuh menyuarakan kesepian dan keresahan di sela-sela deru nafasku. Ada rasa muak dan sesak yang tidak bisa aku bagi dengan siapapun. Namun, air mataku telah kering jauh sebelum aku melihat lelaki yang sangat aku cintai tengah terbujur kaku. Dulu, mungkin tidak ada orang yang tidak mengenali dirinya di negeri ini. Seorang lelaki itu berstatus sebagai suamiku. Waktu melihat dia muncul pertama kali di televisi, dalam sebuah program interview yang diselenggarakan oleh sebuah ...

Cerpen: Halte 04

Gambar
Halte 04 Karya : Emilia Hermawati Illustration by pinterest Hujan kala sore menjelang malam adalah hal yang kurang disukai oleh sebagian orang. Mungkin juga bagi orang-orang yang sedang menghuni Halte 04 saat ini. Punggung-punggung mereka terus dipaksa untuk bersabar sepanjang penantian. Ditambah lagi ketika hujan deras, kedatangan bus umum sering kali tertunda dari jadwal biasanya. Halte ini sebenarnya cukup besar untuk bisa menampung kurang lebih lima belas sampai dua puluh orang. Meskipun tidak semua penghuni halte ini memiliki kesempatan untuk duduk di kursi tunggu,  Sore ini, tidak seperti hari-hari biasanya, halte ini terlihat cukup sepi penunggu. Hanya ada seorang wanita paruh baya, dua orang pegawai kantor, dan tentunya aku yang memanggul ransel sambil memangku buku-buku kuliah. Tidak ada yang berubah dari pemandangan setiap harinya, hening dan dingin. Persis seperti perkataan sepupuku yang menjadi alumni penghuni halte ini, ‘penghuni halte 04 adalah zombie millennial’...