Lenyap Bersama Tenggelamnya Senja

 

Semilir angin meresonansi lewat dersik-dersik reranting pohon mangga lantas menelusup masuk ke dalam ruang-ruang batin. Lamat-lamat ia menghirup nafas-nafas tanaman di sekitarnya berkali-kali, memang tak ada yang secandu aroma tanah ketika mendung sukar untuk ditolak kedatangannya. Ah! benar saja sore ini, sudah memasuki September akhir, tandanya sebentar lagi akan musim hujan. Udara mulai sedikit menggigilkan tengkuk, terkadang gencar mengadu domba gorden-gorden rumah yang melambai-lambaikan kerisauan.

September memang pandai mengaduk perasaan, membuat dun-daun yang menua menjadi resah begitupun juga dengan perasaan gadis yang duduk di sebuah bangku panjang bersama sesosok pria yang sangat ia kenali perangainya. Namun, lagi lagi ia tak berani menatap langsung wajah pria yang pernah ia puja. Karena ia merasa terlalu lancang untuk mengamati raut-raut di wajah pria itu. 

Tidak dengan daun-daun sudah mulai berguguran memenuhi bangku tua yang sedang mereka duduki bersama, bagi gadis itu, sosok yang paling berharga baginya tidak sedikitpun terlihat rapuh lantaran usia. Kulit tangannya yang sudah mengkerut, dan rambutnya yang nyaris putih sempurna, tak mengurangi sedikitpun kegagahannya. Pun wajahnya yang mulai mengkeriput, tak mampu mengurangi kadar senyumannya yang sungguh terukir bak bianglala. Namun gadis itu tahu, isi kepalanya sedang berisik. Terlalu berisik sampai-sampai ia pun sukar melerai keributan yang memenuhi kepalanya.

Mereka duduk tak saling beradu pandang. Gadis itu menundukkan kepalanya seakan-akan sedang mengasuh kekhusukannya. Sedangkan pria itu mendongakkan kepala menatap semburat-semburat jingga yang ada di langit sore.

"Senja memang sempurna, bukan?" pria itu berujar untuk kesekian kalinya. Gadis itu tidak menggubrisnya, ia masih menunduk dan tak henti-hentinya menghitung daun-daun yang berserakan diatas tanah pekarangannya sembari mengutuki pria itu dalam hati 'sempurna apanya? Tak lihat-kah sekarang sedang mendung'. 

"Kau tahu tidak kalau senja selalu diibaratkan sebagai kedamaian dalam sebuah perpisahan?" Lanjut pria itu. Lagi lagi gadis itu tetap mengatur fokusnya untuk menghitung jumlah daun-daun yang gugur itu "dua ratus tiga puluh sembilan, empat ratus...." Ia sedikit meledek

"Aku tahu kau masih tidak menerimanya" Tebak pria itu, sambil sedikit terkekeh, seakan-akan ia mengerti apa yang tengah gadisnya rasakan. Senyumannya masih dapat dibanyagi oleh gadis itu ketika pria itu fasih melontarkan kata-kata yang tak cukup untuk di dengar di dalam ruang ruminasi. Gadis itu hanya merasakan ketulusan yang teramat menyesakkan dadanya.

Tanpa menunggu tanggapan dari gadisnya, pria itu lanjut menggurui "Seperti senja kala musim hujan, meskipun tak mampu melukiskan warna jingga apalagi menjanjikan sebuah bianglala, namun ia tetap ada".

Gadis itu menyerngitkan dahinya pertanda tak memahami perumpamaan yang disiratkan oleh pria itu. Ah ia sampai lupa sampai hitungan keberapa daun-daunnya.

Seperti mendung di sore ini, seakan-akan senja menampakkan kesedihannya. Kesedihan yang membuat gadis itu merasa diporakporandakan oleh takdir yang sedang tidak memihaknya.

"Ahh, sangat disayangkan senja itu adalah Ayah" suara pria itu mulai serak. Namun ia tidak memberi jeda untuk tangisnya "Jangan terlalu berlarut dalam kesedihan. Sebelum senja pergi, ia telah menitipkan kehangatan rembulan lewat malam, bukan? Percayalah malam sangat sudi mengelus pelupuk hingga matamu terpejam dalam buaiannya".

Sore ini benar-benar menjadi rehabilitasi bagi luka-luka yang belum sembuh sempurna, duka-duka yang masih bersekutu dengannya sejak lama. Ah bukan hanya sore ini, sore-sore sebelumya juga begitu dan mungkin juga untuk sore-sore selanjutnya.

"Percayalah, anakku senja itu tetap ada meskipun sore ini mendung, hujan maupun badai. Ia selalu hidup meskipun bukan bersama warna jingganya. Di dalam ingatanmu, dan di dalam rengkuhan malam, percayalah ia bersajak sebagai bait-bait doa di dalam ruang batinmu".

Gadis itu ingin marah dengan ketidakpahamannya perihal senja yang Ayahnya katakan. Ya pria itu adalah Ayahnya. Namun sama sekali ia tidak berhak untuk menyangkal. Bukan, bukannya ia tidak berhak lebih tepatnya ia tidak bisa meminta penjelasan dari apa yang Ayahnya katakan. Tidak ada lagi kesempatan, posisinya sekarang adalah pendengar yang hanya bisa mengangguk dan berusaha untuk mengikat janjinya. Lalu ia pun mematikan audio record diponselnya dan meletakkan sebingkai foto pria yang berdiri dibawah pohon yang daun-daunnya sudah berguguran. 

Gadis itu merasakan masih ada mendung di sana. Petir yang bergemuruh didadanya dan badai yang mengacaukan ruang batinnya. Ia pun tak mampu menahan hujan yang mulai membasahi pipinya berkali-kali. 

"Ayah, aku percaya Tuhan menjaga Ayah di sana". Ujarnya yang sebenarnya adalah sebuah permintaan pada Tuhannya.

Tanpa sadar malam sudah bertandang, azan sudah mulai dikumandangkan di surau-surau. Gadis itu masih berusaha mengatup kedua rahangnya untuk menahan sesegukan setelahnya ia kembali mengusap pipinya yang sudah kuyup untuk yang kesekian kalinya. Sampai ketika ia merasakan tangan seorang wanita menyentuh kedua bahunya.

"Sholat magrib, yuk" ajak seorang wanita itu yang memeluknya dari samping seraya menggiringnya memasuki pintu rumah mereka. 'Ayah, ibu adalah malam yang kau katakan, bukan?' Ujar gadis itu sambil lalu menatap sosok yang sekarang tengah merangkul bahunya dengan sangat erat. Ia tersenyum mengukir bulan sabit di bibirnya. Di rengkuhan Ibunya segala harap ia aamiin-kan. Semoga sesaknya segera lenyap, bersama tenggelamnya senja di ufuk sana.

Besok sudah memasuki bulan Oktober yang ketiga kalinya tanpa pria itu dalam hidupnya. Tak terasa angin malam pun mulai berhembus sembari membawa berita perihal musim hujan, ia harap hujan tidak lagi mencergaskan pilu dan kecemasan. Gadis itu benar-benar menanam kerinduan pada sesosok pria itu, yang ia kenal sebagai Ayah. Ia berharap kerinduan-kerinduan itu akan tumbuh sebagai keikhlasan yang paling damai. Tidak harus besok pagi, mungkin lusa, ataupun di hari-hari lainnya


2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Glimpses of Us

Tinker Bell di Ladang Tebu

Keluarga Kedua