Keluarga Kedua


Sudah genap dua bulan kami tinggal di rumah ini, setelah Ayah dipindahtugaskan oleh kantor pusat ke kantor cabang yang berada di pedalaman sebuah kota yang berbeda dengan kota yang sebelumnya kami tinggali. Pada waktu Ayah memberitahukan rencana kepindahan itu, Ibu-lah yang paling antusias dengan itu, mungkin karena sudah hampir dua puluh tahun lamanya ia tinggal menetap di perkotaan yang suasananya terlalu ramai namun bersifat individual. Jadi mungkin ia merasa sangat merindukan suasana pedesaan yang lebih tenang, damai dan kekeluargaan. Namun, hal itu diluar angan-angan Ibu, sebab suasana di tempat kami tinggal sangatlah sepi, terutama ketika malam. Rumah-rumah penduduk juga lumayan jauh dari rumah dinas yang kami tempati.

Sebenarnya rumah yang kami tinggali ini bukanlah rumah dinas yang direkomendasikan oleh kantor lama Ayah. Namun oleh kantor barunya, Ayah dialihkan ke rumah ini dengan pertimbangan jaraknya lebih dekat dengan kantornya yang sekarang itu. Sebenarnya rumah ini tampak seperti rumah pada biasanya, meski bisa dibilang terlalu besar untuk ukuran rumah dinas. Bangunan bercorak belanda campuran jawa kuno ini, memiliki dua lantai dengan halaman yang cukup luas. Namun, aku tidak bisa mengatakan bahwa rumah ini terawat, sebab beberapa bagian rumah yang rusak dan beberapa tanaman menjalar memenuhi di bagian samping bangunannya. Sudah dipastikan rumah ini sudah lama tidak dihuni, namun masih sangat layak untuk dihuni. Maka dari itu, satu minggu setelah kepindahan kami ke rumah ini dihabiskan dengan bersih-bersih dan berbenah. Ayah juga memanggil teknisi untuk membenarkan aliran listrik serta air. 

Perihal kepindahan ini, hanya kak Juan yang menolak rencana itu, dengan alasan ia malas harus mencari teman baru. Sampai-sampai ia mengatakan ingin tinggal sendiri di kota yang kami tinggali sebelumnya agar ia tidak ikut pindah dengan kami. Dan entah karena apa, pada akhirnya ia mengalah dan menurut pada Ayah. Aku rasa ia sudah berpikir berulang kali perihal resiko yang akan dia hadapi kalau tinggal sendiri, atau mungkin karena telah ditambah dengan sedikit ancaman oleh Ayah.

Aku bisa mengerti mengapa Kak Juan tidak suka tinggal di pedesaan ini, karena sejauh yang sudah aku rasakan betapa susahnya jaringan internet di kawasan ini, sehingga hiburan hanyalah dengan menonton TV yang gambarnya banyak semut, ditambah dengan suara grasak-grusuk yang sangat menganggu. Aku rasa dengan keadaan seperti itu, Kak Juan-lah yang mungkin merasa sangat menderita. Dengan memiliki hobi bermain tennis, tempat ini benar-benar tidak bisa bersahabat dengannya, sebab lapangan tennis hanya ada di kota yang jaraknya hampir sejauh 20 km dari tempat tinggal kami. Maka dari itu, ia selalu merasa uring-uringan ketika berada di rumah. Namun, dibandingkan dengan Kakakku, kebosananku sedikit terbantu karena Ayah membelikan aku beberapa cerita bergambar baru sebelum kami pindah ke sini.

Hampir setiap hari Kak Juan pergi ke kota sepulang sekolah hanya untuk bermain tennis, dan pulang ketika menjelang magrib. Namun hari itu, sepanjang hari ia ada di rumah, bahkan aku melihatnya tengah menanam bibit pohon tomat di samping rumah kami. Sebelumnya, aku hanya bisa mengintip kegiatan Kakakku itu dari atas balkon, namun ternyata ia melihatku dan akhirnya mengajakku agar bergabung dengannya, aku pun menurutinya dan menghampirinya yang sedang menyiram tanaman di halaman samping rumah. 

Sesampainya di sana, ia mengajariku cara menyiram tanaman, dan memberi tahu apa saja tanaman yang ia tanam itu. Sejauh ini, aku tidak tahu ternyata Kak Juan bisa bersikap hangat padaku. Hal itu cukup aneh bagiku, sebab hal itu sama sekali bukan sikap yang bisa ditunjukkan olehnya. Karena kebiasaan yang aku ketahui selama ini adalah mengurung diri di kamar. Ia tidak tertarik pada apapun kecuali tennis, ia juga tidak penah menatapku apalagi berbicara denganku seperti saat itu. 

Namun entah mengapa akhir-akhir ini aku melihat perubahan dari dalam diri Kak Juan terlalu cepat. Ia sering menujukkan sikap baiknya padaku, ia menjadi banyak tersenyum padaku, hingga kami semakin dekat untuk sekedar membaca buku bersama di kamarnya. Tentu aku sangat senang dengan perubahan yang terjadi di dalam diri Kak Juan. Aku merasa kami semakin dekat selayaknya saudara seharusnya. Kami menjadi lebih sering melakukan sesuatu bersama-sama, seperti yang juga terjadi di suatu sore, Kak Juan kembali mengajakku melihat-lihat tanaman yang ia tanam di halaman samping rumah kami. Ketika berada di sana, aku bisa melihatnya tersenyum lebar ketika memperhatikan tanaman yang ia rawat itu tumbuh dengan subur. Aku pun merasa senang ketika melihat dia tampak sumringah, sebab aku tahu bagaimana ia merawat tanaman itu sepenuh hati. 

Beberapa menit kemudian, Kak Juan menghampiriku lalu merendahkan posisinya untuk menyamai tinggiku. Ia tersenyum sambil menatapku cukup lama sebelum berkata: "Akulah Kakakmu yang asli, sedangkan Dia hanya mengaku-ngaku sebagai kakakmu", katanya sambil menunjuk ke arah pintu pagar. 

Aku terkejut ketika melihat orang yang dia maksud adalah seseorang yang tengah membuka pintu pagar rumah kami dengan raket tennis yang berada di tangan kanannya. Di saat yang sama, aku merasa sangat bingung dengan apa yang ia katakan. Belum sempat aku mencerna apa yang sedang terjadi, tiba-tiba suara Ibu mengagetkanku, ia memanggilku berkali-kali, aku pun berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan Kak Juan yang masih berdiri di halaman samping rumah.

Aku menghampiri Ibu yang tengah berdiri di depan pintu kamar Kak Juan. "Kamu kenapa berantakin kamar Kakakmu?", tanya Ibu yang langsung menuduhku.

Aku terkejut ketika melihat kondisi kamar Kak Juan yang sangat kacau, seperti ada orang yang telah mengacak-acak seluruh isi kamarnya. Seprei kasurnya terlepas secara paksa, lemari bajunya terbuka dan semua bajunya berserakan di mana-mana, begitupun juga meja serta buku-buku miliknya yang sudah tak nampak bentuknya. Di sana aku melihat Kak Juan yang masih memakai baju tennisnya memunguti beberapa bajunya yang bwrserakan itu. Aku sedikit terkejut melihat baju yang dikenakan olehnya, karena baju itu persis seperti yang baju yang dikenakan oleh orang tadi yang berjalan memasuki pintu pagar rumah kami. Tapi yang lebih membuatku terkejut ketika Ibu menuduhku sebagai pelaku yang membuat kekacauan itu. Padahal seumur hidup aku tidak pernah berani masuk sendirian ke dalam kamar Kak Juan.

"Bukan aku yang melakukannya", ujarku berusaha menyangkal tuduhan itu. 

"Hmm.. Sejak tadi, cuma Ibu dan kamu aja yang ada di rumah ini. Tapi Ibu belum ke lantai dua sejak tadi pagi. Sementara kamarmu yang berada di sebelah kamarnya. Jika bukan kamu yang melakukannya, lalu siapa?" tanya Ibu sambil berusaha memperhalus nada bicaranya.

"Aku benar-benar tidak melakukannya", ujarku dengan suara yang mulai bergetar sambil menatap ke arah Kak Juan, dengan harap ia dapat mempercayai perkataanku. Namun yang aku dapat darinya tidak lebih dari tatapan paling ketus yang pernah aku terima darinya, hingga beberapa detik dari itu ia memalingkan wajahnya dariku, dan kembali membereskan kamarnya itu. Aku tidak mengerti bagaimana ia bisa sikapnya begitu cepat berubah. Aku tidak bisa menegurnya karena aku takut ia akan tersinggung. Sementara tenggorokannku mulai tercekat, dan pandanganku menjadi sedikit buram karena air mata menggenang di pelupuk mataku.

Ibu menarik nafas sangat panjang, kemudian merendahkan tingginya sehingga posisi kami sejajar. Ia memegang kedua pundakku sambil menatapku dengan penuh kesedihan."Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu bertingkah sangat aneh. Kamu tidak mau sekolah. Dan tiap malam kamu juga sering menangis. Ketika Ibu bertanya kenapa, kamu selalu menghindar dari Ibu. Cerita sama Ibu Ada apa? ", tanyanya dengan raut penuh kekhawatiran.

Aku tidak mengerti dengan segala yang Ibu tuduhkan padaku, sebab itu bukanlah pelakunya. Tapi alih-alih menyangkalnya lagi, bulir-bulir air sudah lebih dulu terjun mengaliri pipiku. Aku merasa terpojokkan dengan apa yang tidak aku lakukan. Namun di satu sisi, aku juga tidak bisa menjelaskannya karena aku pun tidak bisa memahami apa yang sudah terjadi. 

Setelah kejadian itu, aku mulai merasa tidak nyaman dengan atmosfer di rumah ini. Setiap malam aku selalu bermimpi buruk, sampai-sampai membuatku merasa takut dan tertekan ketika ingin memejamkan mata. Karena ketika aku mulai memejamkan mata, sosok-sosok yang menghantui tidurku akan menampakkan diri dihadapanku dengan wajah paling menyeramkan dari yang pernah aku bayangkan sebelumnya. Dan karena itu pula, aku terjaga semalaman untuk menghindari mimpi itu.

Namun, ketika aku membuka mata, aku juga sering berhalusinasi hal-hal yang menyeramkan. Pernah suatu ketika aku tengah berada di halaman samping bangunan rumah, aku tidak sengaja menatap ke arah kaca jendela lantai bawah yang langsung berhadapan dengan dapur. Dari dalam sana, samar-samar aku melihat Ibu mengigit lengannya sendiri sampai dagingnya terkoyak, darah pun menetes dari lengannya itu. Aku gemetar melihat pemandangan mengerikan itu Sementara ia menyadari keberadaanku yang sedang berdiri memperhatikannya, ia pun tersenyum menyeringai ke arahku dengan mulut yang penuh dengan darah. Dengan rasa takut yang masih memporak-porandakan diriku, aku memaksakan diri masuk ke dalam dapur dan memastikan apa yang tadi aku lihat. Namun ketika aku ke dalam dapur, ternyata di sana tidak ada orang sama sekali. 

Selain itu, pernah suatu malam yang seharusnya hari itu Ayah tidak ada di rumah karena sedang tugas di luar kota selama tiga hari, aku melihatnya sedang mengubur sesuatu di halaman samping rumah yang menghadap ke balkon kamarku. Aku mengintipnya untuk mencari tahu apa yang ia kubur itu. Karena merasa ada yang tengah memperhatikan kegiatannya, Ayah menoleh ke arahku dan melotot dengan tatapan sangat marah yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Sebenarnya aku sedikit ragu untuk menanyakan pada Ibu apakah Ayah sudah pulang tadi malam. Namun, akhirnya aku lakukan untuk memastikan apa yang aku saksikan di malam itu hanyalah ilusi. Namun tidak sesuai dengan harapan, ibu mengatakan bahwa ayah akan pulang besok siang. Aku pikir mungkin lagi lagi aku salah lihat.

Aku merasakan hari demi hari, rumah ini semakin berani menunjukkan sisi gelapnya, terlebih ketika malam hari. Dari dalam kamar, aku selalu mendengar sebuah suara langkah kaki yang sedang menaiki tangga menuju lantai dua di mana kamarku dan kak Juan berada. Suara langkah itu sangat nyaring dan bergema hingga membuat suasana malam semakin mencekam. Namun, anehnya, setelah sampai di anak tangga terakhir, suara langkah itu terdengar menuruni tangga, namun setelahnya ia menaikinya lagi, lalu menuruninya lagi secara bergantian dan terus saja begitu sampai menjelang subuh. Di sela-sela suara langkah itu, terkadang aku mendengar suara seorang lelaki berdeham yang sangat mirip dengan suara Ayah. 

Namun di suatu malam ketika aku mendengar lagi langkah kaki itu kembali menaiki tangga hingga sampai di anak tangga paling atas, langkah itu sempat bergeming sampai beberapa menit. Alih-alih menuruni tangga seperti yang terjadi di malam-malam sebelumnya, aku mendengar suara langkah itu mulai berjalan mendekat ke arah kamarku berada dan mulai berjalan mondar-mandir di sana. Semakin aku dengarkan, langkah itu bergerak semakin cepat dan sangat berisik, bahkan aku mendengar terdapat lebih dari satu langkah kaki di sana. 

Aku sempat ragu untuk memeriksanya ke luar sebelum rasa penasaran mendorongku untuk mencari tahu siapa dan apa yang terjadi di luar kamarku. Dan ketika aku membuka sedikit pintu kamarku, betapa terkejutnya, ketika aku mendapati wajah Ibu yang tiba-tiba dicondongkan ke arah wajahku. Melihat pemandangan itu, aku rasa jantungku hampir copot. Hal itu membuat tubuhku sangat lemas untuk digerakkan. Dan untuk beberapa detik, Ibu tersenyum menyeringai ke arahku persis dengan tatapan Ibu di pantulan kaca dapur waktu itu. Sementara sekujur tubuhku terasa sulit digerakkan karena dari saking takutnya kala itu. Aku masih berusaha menarik kesadaranku dan langsung mengunci pintu. Kemudian aku berlari ke atas kasur menutup sekujur tubuhku dengan selimut.  

Kejadian semalam semakin membuatku setres. Namun yang membuatku semakin setres adalah ketika mendengar Ayah dan Ibu sedang bertengkar ketika masih pagi buta. Dari beberapa pembicaraan mereka yang aku bisa tangkap, Ibu menuduh Ayah telah membunuh seorang anak. Sementara Ayah terus saja menyangkal atas apa yang Ibu tuduhkan padanya. Sementara Ibu bersikeras menanyakan alasan Ayah melakukannya, hal itu yang membuat Ayah sangat frustasi dengan tindakan Ibu waktu itu sampai ia berteriak dan melempar vas bunga ke cermin yang ada di kamar mereka. Setelah itu, kembali hening untuk beberapa menit dan akhirnya Ayah membuka suara untuk menanyakan siapa anak yang Ibu maksud itu. Ibu terdiam sejenak tidak menjawab pertanyaan itu. Namun kembali mendesak Ayah untuk mengatakan dimana Ayah menguburkan jasad anak itu. Dan pertikaian pun kembali dilanjutkan sampai matahari hampir terbit.

Baru kali ini Ayah dan Ibu bertengkar sangat serius. Sebenarnya apa yang memicu pertengkaran itu. Dan seperti sedang diberi sebuah petunjuk, Aku pun teringat dengan malam itu, di mana Ayah menguburkan sesuatu di halaman samping bangunan rumah kami. Aku pun pergi untuk memeriksa. Ketika aku sudah sampai di sana, aku memperhatikan kondisi permukaan tanah itu seperti biasanya, aku tidak menemukan bekas galian dari situ. Aku mendongakkan kepala ke arah balkon kamarku untuk memastikan apakah tempat itu benar ketika dilihat dari sudut sana.

Belum sempat aku melakukannya, mataku langsung teralihkan pada samping balkon kamarku, di mana aku melihat Kak Juan sudah berdiri di pinggir balkon kamarnya dengan tatapan kosong. Tiba-tiba ia mulai melepaskan satu kakinya dari balkon. Aku masih tidak bisa mencerna otakku sebelum Kakakku itu juga melepaskan satu kakinya lagi, ketika itulah aku menyadari kalau ia sudah tidak lagi berdiri di atas sana. Kejadian itu begitu cepat ketika aku sudah melihat tubuh Kak Juan tengkurap di atas tanah dengan kepala retak yang langsung mengalirkan darah segar dari celah retakkan itu.

"Kak Juann!!!", teriakku histeris.

Seketika tubuhku langsung ambruk ke tanah, dan air mata mulai mengalir deras membasahi kedua pipiku. Sementara suara debaman ketika Kak Juan jatuh dari atas balkon kamarnya itu masih terdengar jelas di telingaku dan terus menggema di dalam ingatanku. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya sambil tidak berhenti memanggil Kakakku yang masih tergeletak di hadapanku.

"Kak Juan! Kakak! Kak Ju... Kak..". Teriakanku menjadi semakin lemah. Tubuhku menjadi sangat lemas dan sangat sulit untuk digerakkan. Beberapa detik kemudian aku baru menyadari Ayah dan ibu berlari menghampiriku. Ibu teriak histeris ketika melihat Aku dan Kak Juan tergeletak di atas tanah. Aku mendengar mereka memanggil nama kami berkali-kali secara bergantian. Mereka menangis sambil memeluk erat tubuh kami. 

Pada saat sebelum kesadaranku mulai menghilang, aku sempat menatap ke arah balkon kamarku. Di sana aku melihat sosok yang menyerupai kak Juan sedang berdiri menatap ke arah kami sembari tersenyum lebar, senyum itu terlihat persis seperti saat kami berada di halaman samping rumah pada sore itu. Pada saat itu juga, aku seperti sedang mendengar sosok itu berkata: "Kalian sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Jadi, sudah sepantasnya sesama keluarga tidak hanya saling membagi kebahagiaan namun juga penderitaan".  

Setelah mengatakan itu, sosok yang pada awalnya menjelma wajah Kakakku itu, berubah menjadi sosok yang sangat mengerikan. Wajahnya hancur karena sebagian kepalanya retak, mulutnya sobek, dan dari matanya mengalir darah kental yang warnanya sangat pekat. Dari sana juga aku melihat tidak hanya satu sosok yang tengah memperhatikan kami, tetapi ada banyak sekali sosok-sosok menyeramkan dengan bentuk berbeda-beda. 

Dari situ aku menyadari kalau selama ini kami tidak hanya tinggal berempat saja, namun juga tinggal bersama mereka. Dan mereka jugalah yang selama ini menyerupai di antara kami untuk membuat keributan di rumah ini. Ketika mereka tahu aku menyadari akan hal itu, sosok-sosok itu tersenyum menyeringai dengan tatapan penuh dengan kelicikan, seakan-akan sedang menunjukkan bahwa merekalah pemenangnya. Sampai-sampai aku tidak sanggup melihat betapa menyeramkannya mereka. Hingga pada akhirnya pandanganku menjadi semakin gelap. Suara tangisan Ayah dan Ibu yang berada di sampingku juga semakin memudar dan akhirnya menghilang dari pendengaranku. Sementara itu, aku sudah tidak mampu menahan rasa sakit luar bisa yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Glimpses of Us

Tinker Bell di Ladang Tebu