Tinker Bell di Ladang Tebu

 




Hari itu senja hampir berada di ujung nasibnya. Udara pun sedang berusaha menggigilkan tengkuk leherku. Ditambah dengan anak-anak kabut mulai turun secara bergantian dan mulai menjamah jarak terjauh yang sebelumnya bisa aku gapai. Atap-atap rumah warga juga mulai lembab dan warna tebing menjadi lebih mengkilap dari biasanya. Di sisi lain, sepasang kakiku saling berlomba untuk menebas jarak.

Desir-desir angin berbisik di antara suara tapak sepatuku dan juga di antara tarian rumput-rumput liar yang saling menyorakiku kala itu. Mereka adalah saksi atas kegiranganku sore itu, kegirangan yang membuat aku terus berlari tanpa henti, seperti tengah menantang matahari yang juga sedang berada dalam perjalanan pulang menuju peraduannya. Aku tak peduli meski beberapa kali kakiku tersandung karena terus bersinggungan dengan jalan yang tak rata, dan yang hanya ada di pikiranku kala itu adalah kemenanganku atas matahari sebelum malam lebih dulu melumat hari.

Gejolak langkahku semakin kencang ketika mendapati seorang lelaki yang dengan gagahnya berjalan menuju pintu pagar sebuah rumah. Aku pikir, ia sedang berniat menjemputku ke ladang tebu, karena sejak tadi aku tidak menghiraukan panggilannya. 

“Aku melihatnya, Ayah. Aku melihatnya!”, aku melepaskan rangkulan dari sepasang kaki jenjang itu dengan dengan nafas yang masih tersengal-sengal.

Hap!!!

Alih-alih menggubris perkataanku, ia menggendongku kemudian membawaku ke dalam rumah.

“Tapi, aku belum sempat menyapanya. Karena suara Ayah terlalu menganggu”, gerutuku padanya yang sejak tadi terus meneriakiku dari teras depan rumah.

Jarak rumah dengan ladang tebu tidak terlalu jauh dan juga tidak bisa dibilang sangat dekat. Namun, karena bulan ini masih musim penghujan, suara Ayah terbawa oleh desir angin munson barat yang mengarah ke ladang tebu. Dan hal itu juga yang membuat suara Ayah yang berasal dari teras depan rumah bisa terdengar jelas. Meskipun dari ladang tebu, tubuhnya hanya seukuran kuaci.

“Lihatlah, Clark! Gadis kecil ini terlambat pulang hari ini. Haruskah kita kunci saja pagarnya agar dia jera”, godanya sambil mencubit sebelah pipiku.

Aku bersungut-sungut kesal. Sedangkan Clark hanya meng-eong kemudian melengos malas di atas kursi rotan. Seperti biasanya, dia tak peduli dengan kehebohan kami.

***

Tak ada yang istimewa dari tempat tinggalku. Lingkunganku berada di desa terpencil yang terletak di sudut kota dekat pegunungan. Tak ada gedung-gedung pencakar langit seperti di perkotaan, hanya ada beberapa pohon Akasia yang menjulang di beberapa sisi jalan, ataupun rumput yang setinggi dada orang dewasa serta perkebunan tebu. Maka dari itu, aku lebih familiar dengan suara burung-burung yang bernyanyi sepanjang hari, suara monyet-monyet di gunung, suara air terjun yang mengalir deras, suara pohon bambu yang melengking, dan suara tebing yang saling meraung setiap malam dibandingkan dengan seru-deru mesin pabrik ataupun lalu-lalang kendaraan bermotor.

Aktivitas sehari-hari kami pun tidak sebanyak di kota. Kami melakukan semua pekerjaan tanpa terburu-buru. Berbeda dengan aktivitas orang-orang kota yang sangat padat dan menyibukkan. Hal itu yang Ayah sebut sebagai kedamaian. Namun, kedamaian yang aku rasakan ini terlalu tenang dan sunyi, sehingga tak jarang aku merasa kesepian sepanjang hari.

Desa ini cukup luas, akan tetapi sangatlah sedikit penduduknya. Jarak antar rumah pun cukup jauh tidak berdesakan seperti di kota. Bahkan jarak rumah tetangga terdekat kami mencapai lima puluh kaki. Hal itu yang membuat desa ini sangat hening. Tak ada konser maupun pesta makan malam. Sekalipun ada mungkin hanya pada saat malam pergantian tahun.

Sama seperti hari-hari biasanya, makan malam kami habiskan hanya bertiga saja. Aku, Ayah dan tentu Clark. Setelah makan malam rutinitas Ayah adalah membacakan dongen pengantar tidur untukku. Dan sampai saat ini, tidak ada dongeng yang bisa mengalahkan Tinker Bell bagiku.

Kata Ayah, Tinker Bell itu adalah seorang peri kecil seukuran buncis di ladang kami. Meskipun bertubuh kecil, dia adalah seorang yang pemberani dan senang membantu teman-temannya. Dia juga sangat juga sangat suka berpetualang. Ayah mengatakan bahwa jika aku bertemu dengan Tinker Bell, pasti aku akan sangat menyukainya.

Tinker Bell tinggal di sebuah negeri yang bernama Neverland bersama dengan teman-temannya. Ayah juga mengatakan bahwa Neverland adalah sebuah negeri yang tersembunyi. Biasanya negeri itu berada di dalam ladang bunga matahari, atau kebun bunga Marigold, dan kadang juga di bawah akar pepohonan besar seperti pohon Ek. Aku pun mengatakan pada Ayah bahwa mungkin saja rumah Tinker Bell juga berada di bawah akar pohon Mangga yang ada di samping rumah kami, ataupun di dalam ladang buncis kami. Ayah hanya tersenyum sambil mengusap pucuk kepalaku.

***

“Ayah, tadi malam aku memimpikan Tinker Bell lagi. Dia selalu mengetuk jendela itu dan mengajakku bermain di ladang tebu”, aku menoleh ke kamarku dan menunjuk pada sebuah jendela di kamarku yang langsung menghadap pada bibir pintu.

Aku mengatakan hal itu hampir setiap pagi, ketika kami tengah menikmati sarapan. Tidak hanya sekali ataupun dua kali, rasanya aku sangat sering memimpikannya meskipun tidak setiap malam. Aku tidak tahu pasti, sejak kapan hal itu terjadi. Namun, semakin sering aku memimpikannya, itu rasanya semakin nyata

“Benarkah? Lalu, apakah kau pergi dengannya?”, tanya Ayah yang sedang mengambil nasi dari dalam penanak.

“Tidak. Karena pada waktu itu Ayah selalu tidak ada. Jadi, aku selalu tidak bisa berpamitan dengan Ayah”, aku menggeleng sambil memanyunkan bibirku

“Anak baik”, tangan kirinya mengelus pucuk kepalaku, sedangkan tangan kanannya meletakkan sepiring nasi lengkap dengan lauknya di depanku.

***

Aku pikir Ayah akan mengabaikanku seperti tempo hari ketika aku mengatakan bahwa hari itu aku melihat Tinker Bell. Mungkin dia akan mengatakan bahwa aku hanya berhalusinasi, karena terobsesi untuk bertemu dengan Tinker Bell. Atau mungkin, secara tiba-tiba dia akan mengalihkan pembicaraan kami. Ah, aku terlalu senang hari itu sehingga aku sama sekali tidak peduli jika kali ini dia mengabaikan ceritaku lagi.

“Siapa? Tinker Bell lagi? Dia mengajakmu bermain lagi?”,

Lagi-lagi Ayah memutar bola matanya menatap langit-langit ketika kami sedang melewati ruang tamu. Tepat sekali. Ekspresi tidak menyenangkan itu adalah hal yang aku benci. Wajahnya mengatakan bahwa ia sedang mendengarkan bualan-bualan konyol yang diceritakan oleh anak-anak berusia lima tahun kepada teman-teman sebayanya. Dia tidak akan percaya, jika aku mengatakan bahwa aku benar-benar bermain dengannya di ladang tebu.

“Dia memberiku bunga ini. Cantik, bukan?” Aku memperlihatkan dua tangkai krisan putih di tangan kananku.

Ayah sedikit tertegun. Dan sepersekian detik, ia kembali melepaskan kaos kakiku yang sudah belepotan dengan lumpur. Aku pikir ia mulai tertarik dengan ceritaku.

Tak peduli dengan ekspresi yang tergambar di wajahnya, aku tetap menceritakan tentang Tinker Bell yang aku temui di ladang tebu itu dengan wajah yang menggebu-gebu. Ketika aku bertemu dengannya untuk yang pertama kali, dia langsung tahu namaku. Bahkan tanpa segan sedikitpun dia mengajakku bermain dan mengajakku berkeliling di ladang tebu itu. Kita terasa sangat akrab seperti sudah mengenal sejak lama. Dan di malam itu, aku mengambil tempat Ayah sebagai pembawa dongeng pengantar tidur.

“Ayah, ternyata tidak hanya Wendy yang beruntung karena telah bertemu dengannya. Aku juga”, ujarku tersenyum sambil menatap dua tangkai krisan putih yang tergantung di dekat jendela kamarku.

Dia memiliki sepasang sayap seperti capung, persis seperti yang pernah Ayah ceritakan padaku. Ia menari di antara hembusan udara, dan meliak-liuk melewati batang demi batang tebu. Aku pun mengejarnya hingga ke tepi danau. Ternyata Tinker Bell tinggal di sana, dan rumahnya di bawah akar pohon akasia yang tumbuh di pinggir danau itu. Di sana kami bercerita tentang kesukaan kami sambil duduk menghadap pada air danau yang tenang, tidak berombak sama sekali.

Namun, kehidupannya berbeda dengan Tinker Bell yang pernah Ayah ceritakan padaku. Dia hanya tinggal dan hidup seorang diri, di sana tidak ada Tinker Bell, ataupun peri-peri lainnya. Bahkan dia tidak punya Ayah sepertiku. Aku jadi sangat menghawatirkannya. Ketika malam hari, siapa yang akan menemaninya makan malam, dan siapa yang akan membacakan dongeng pengantar tidur untuknya, ataupun sekedar memakaikan selimut untuknya. Ah, hal itu terus menggangguku sepanjang malam, hingga akhir-akhir ini aku sulit untuk tidur. Oh, Tinker Bell yang kesepian, dia jauh lebih malang dibandingkan denganku.

Jadi, sejak tadi sore, aku sudah memutuskan untuk menjadi temannya. Meskipun aku tidak selalu bisa bersamanya. Kemudian, dia memberiku dua tangkai krisan putih itu. Dia juga mengatakan bahwa bunga itu kini sudah menjadi tanda persahabatan kami.

“Ah, benar, Ayah. Baju Tinker Bell yang aku temui tidak berwarna hijau Ayah, melainkan berwarna putih seperti kulit jagung yang sudah mengering. Mengapa bisa, ya? Apa karena dia tinggal di ladang tebu?”, aku menoleh ke arah Ayah yang sejak tadi masih memegang pucuk kepalaku. Dan rupanya ia sudah tertidur lelap. Ah, apakah ceritaku terlalu dramatis hingga membuatnya tersihir seperti putri tidur?

***

“Ya ampun. Mengapa badan dan bajumu kotor semua? Kau dari mana saja? Hari sudah gelap. Kau pergi dengan siapa?

Ayah bingung mencarimu. Kau baik-baik saja, kan?”, pertanyaan bertubi-tubi itu langsung berhamburan ke dalam rongga telingaku.

Malam itu, Ayah merangkulku dengan erat, sesekali ia lepaskan untuk mengamati wajahku sambil membersihkan daun-daun kecil yang tersangkut di rambutku, dan setelahnya ia memelukku lagi sama eratnya dengan sebelumya. 

Di sisi lain, aku masih bergeming menatap halaman rumah kami yang sudah gelap, benar-benar gelap hanya ada satu lampu kecil sebagai penerang di samping pintu pagar. Tentu aku bisa merasakan bagaimana kekhawatirannya ketika ia berkali-kali mengelus punggungku. Namun, belum sempat aku menjelaskan padanya, Ayah sudah lebih dulu menggiring tanganku memasuki rumah.

Sama halnya dengan malam-malam sebelumnya, selepas aku mandi dan membersihkan diri, Ayah sudah menyiapkan makan malam kami. Di lain sisi, aku telah melihat Clark sudah tertidur pulas di sofa ruang tengah. Ah, pasti kucing itu sudah makan sebelum aku tiba di rumah.

Makan malam di hari itu terasa sangat canggung. Aku tidak suka dengan situasi seperti ini. Aku ingin menjelaskan kepada Ayah, kalau tadi sore aku pergi bersama Tinker Bell untuk menonton pertunjukan sirkus di tepi danau. Namun belum sempat aku mengeluarkan sepatah kata pun, Ayah sudah lebih dulu membaca gelagatku.

“Tinker Bell lagi?”, tanya Ayah dengan wajah datar sembari menyodorkan segelas air putih padaku.

Sudah ku duga, Ayah akan menebak itu. Memang bukan lagi menjadi rahasia alasan aku selalu pulang terlambat akhir-akhir ini adalah pergi dengan Tinker Bell. Aku hanya bisa mengangguk membenarkannya.

“Bukankah seharusnya kau mendengarkan Ayah?” tukasnya sembari membersihkan piring dan sisa-sisa makanan.

Memang Ayah selalu memperingatkan aku untuk tidak pulang terlalu malam. Dia mengatakan di luar sana sangatlah berbahaya ketika gelap.

Di sisi lain, aku tidak mengerti mengapa sepertinya Ayah tidak menyukai Tinker Bell? Padahal Tinker Bell baik dan dia juga tahu itu. Meskipun dia tidak mengatakan kalau dia membencinya, tapi aku bisa melihat dari sorot matanya, setiap kali aku mengatakan perihal Tinker Bell, raut wajahnya akan berubah menjadi raut yang susah aku tebak. Tentu aku merasa sedikit kecewa dengan hal itu. Ku pikir dia tidak mengerti kalau anak sepertiku juga ingin mempunyai teman dan bermain di alam bebas. Bukan hanya bermain di rumah bersama seekor kucing yang hanya bisa meng-eong dan bermalas-malasan

***

Sore itu sebenarnya aku tidak berencana mengunjungi Tinker Bell di ladang tebu, karena Ayah belum juga datang dari ladang buncis. Jadi, aku tidak tega meninggalkan Clark di rumah sendirian. Selain itu, tiba-tiba mendung mengitari langit desa kami. Jadi, Aku pikir tidak masalah karena tidak bertemu dengannya sore itu.

Namun, tiba-tiba Tinker Bell mendatangiku, dia mengajakku menonton sirkus. Awalnya, aku tidak mau, karena aku sudah berjanji pada Ayah untuk menjaga Clark sore itu. Namun, dia mengatakan kalau sirkus itu adalah sirkus terbesar sepanjang sejarah, dan mungkin aku tidak akan bisa menontonnya lagi. 

Aku menatap langit dengan berbagai keraguan, dan ajaibnya, langit yang sejak tadi ditutupi oleh mendung pekat, seketika menjadi sangat cerah seperti sedang tersihir. Aku pun menyetujui ajakannya, karena seumur hidup aku belum pernah menonton sirkus, dan lagi pula Clark sedang tertidur di kamarku. Jadi aku pikir tidak apa meninggalkan rumah sebentar saja.

Sesampainya kami di dekat danau, aku mendapati di sana masih seperti biasanya, sepi tidak ada orang-orang apalagi pertunjukan sirkus, hanya ada kami berdua yang tengah memandang air danau yang sama bergeming-nya dengan kami.

Awalnya aku pikir Tinker Bell telah membohongiku, sebelum sebuah kereta terbang muncul dari langit dan bergerak melingkar danau itu. Dan tiba-tiba dari dalam danau muncul sebuah panggung pertunjukkan yang berbentuk lingkaran dengan dikelilingi pagar emas yang diukir dengan berbagai motif. Seperti di dunia dongeng sanja, pikirku.

Ketika kereta itu mendarat pada panggung itu, seketika beberapa orang keluar dengan menggunakan berbagai macam baju-baju aneh yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku pikir mereka adalah anggota sirkus itu. Setelahnya, benar saja, beberapa menit kemudian, mereka mulai menunjukkan berbagai atraksi. Seperti sulap, Trapeze, yaitu sebuah atraksi berayun di atas ketinggian. Ada juga atraksi Wheel of Stunt, yaitu berputar di dalam dua roda besi dengan kecepatan tinggi. Dan atraksi-atraksi lainnya seperti Hair Aerial, Hulla Aerial, Rollabolla.

Atraksi-atraksi itu sangat menghibur kami, membuatku merasakan kesepian yang selama ini menyelimuti hari-hariku tiba-tiba tersedot ke dalam kotak sulap, dan berubah menjadi sekawanan kupu-kupu indah yang tengah beterbangan di atas danau itu. Ini, benar-benar sangat menyenangkan, dan mungkin akan lebih menyenangkan jika aku bisa menonton sirkus bersama Ayah, Ibu, Clark dan juga Tinker Bell. Aku rasa kami tidak hanya akan menonton sirkus, melainkan menghabiskan akhir pekan dengan kegiatan piknik bersama.

“Ayah, Tinker Bell mengatakan kalau dia juga pernah bertemu dengan Ibu saat pertunjukkan sirkus dulu. Awalnyaa ku tidak percaya dengan ucapannya. Tapi, dia mengatakan kalau perempuan yang dia lihat itu memakai bando berwarna ungu. Umm..... Itu bando yang sering Ibu pakai, kan?”, tanyaku.

Tidak ada jawaban, apakah ia tertidur lagi seperti kemarin malam?

“Ayah?”, panggilku.

Sampai sepersekian menit Ayah masih bergeming. Aku pun menoleh ke arahnya, menatap lamat-lamat wajahnya. Wajah yang akhir-akhir ini terlihat sangat lelah. Namun, ada sesuatu yang tidak bisa aku tebak, sebuah perasaan yang seakan-akan sedang ia sembunyikan dariku seperti matanya yang kini tertutup rapat. Di saat yang sama, aku melihat garis vertikal dahinya yang saling merapat. Entah apakah ia sudah tertidur atau sedang pura-pura tertidur?

Namun, aku tidak menceritakan pada Ayah kalau aku melihat ibu di pinggir danau. Aku memanggilnya berkali kali, tapi dia tetap tidak menoleh ke arahku. Aku pun, bersama Tinker Bell mengejar Ibu, namun semakin dikejar, rasanya ibu semakin jauh dan semakin hilang. Dan pada saat itulah aku terjatuh di atas genangan air hujan. Itulah mengapa baju dan tubuhku terkena lumpur.

***

Pagi itu, aku berencana untuk mengadukan Clark pada Ayah, karena sudah dua hari ini, ia tidak mau tidur denganku. Namun, Ayah tiba-tiba menghilang, aku sudah mencarinya ke segala penjuru rumah tetap tidak ada. Di kandang ayam sampai di ladang buncis. Apa mungkin Ayah pergi ke pasar untuk menjual hasil panen buncis? Bisa saja. Namun hingga matahari sudah tepat di atas kepala, Ayah tak kunjung pulang. Tidak mungkin bisa selama itu jika hanya menjual buncis ke pasar. 

Karena merasa khawatir, aku pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Bibi Lusa, tetangga kami yang jarak rumahnya lima puluh kaki dari pagar rumahku. Akhirnya dia memberitahuku bahwa Ayah pergi ke rumah kepala desa.

Tanpa sadar, aku menunggu Ayah hingga menjelang sore. Dan disitu aku mulai merasakan perutku yang sudah sangat lapar, sebab sejak tadi pagi, aku melewatkan sarapan. Dengan langkah sedikit malas, aku berjalan menuju dapur untuk mengambil roti. Ketika aku meraih satu roti di atas meja, aku melirik ke tempat sampah yang ada di samping lemari es. Aku melihat bunga krisan yang harusnya tergantung di kamarku, tiba-tiba saja berada di tempat sampah itu. Apakah Ayah yang telah membuangnya? Tapi kenapa?

Melihat bunga itu, aku pun teringat pada kejadian kemarin. Aku pikir aku harus menemuinya untuk memastikan keadaannya. Karena, ketika kemarin terjatuh pada kubangan air itu, aku terburu-buru untuk pulang tanpa berpamitan dengannya. 

Aku pun pergi ke luar rumah menuju ladang tebu. Sesampainya di ladang tebu, aku tidak menemukan keberadaan Tinker Bell. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, biasanya ia selalu menungguku di ladang tebu. Sampai pada akhirnya aku mencarinya hingga ke dekat danau, tempat biasa kami bermain. Dan betapa terkejutnya aku, ketika aku melihat tubuhnya tergeletak tak sadarkan diri tepat di pinggir danau dengan sekujur tubuhnya yang basah kuyup. Dala keadaan yang sangat panik, aku berusaha membawanya ke bawah pohon akasia yang terletak tidak jauh dari bibir danau itu. Aku pun juga berusaha menyadarkannya dengan memanggil namanya berkali-kali,

"Ting! Ting! Ayolah bangun".

Namun aku tunggu hingga hari sudah hampir malam, Tinker Bell sama sekali tidak meresponku. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya, hingga tiba-tiba aku rasakan tubuhnya mengeras dan sangat dingin seperti es. Aku perhatikan juga kedua kelopak matanya yang menghitam legam. Dan pada saat itu juga jantungku tiba-tiba berdegup kencang, seperti sehabis berlari di tengah gurun es sendirian. Dan di saat yang bersamaan, ketakutan juga mulai menjalari sekujur tubuhku. Seketika aku rasakan atmosfer di sekelilingku menjadi sangat asing dan mengerikan. Aku ingin berteriak. Namun, keinginan itu seakan-akan tidak pernah muncul dari dalam benakku. Sampai aku mendengar seseorang sedang memanggil namaku

“Temaram!!”,

Suara itu seperti mantra ajaib yang bisa menggerakkan tubuhku yang sejak tadi membatu. Aku berdiri dan menoleh ke arah suara itu berasal. Dari arah yang berlawanan, aku melihat Ayah berlari terengah-engah menghampiriku, dan seketika itu juga, ia memelukku dengan erat, lebih erat dari pelukan pada waktu itu. Ayah juga mengusap punggungku berkali-kali tanpa henti. Namun di sisi lain, aku hanya terpaku, pikiranku menjadi kosong. Rasa takut yang sejak tadi saling menyelinap ke dalam tubuhku, kini berganti menjadi rasa bingung yang seolah-olah sedang menggunjingku yang sekarang tenggelam di dalam pelukan Ayah.

Tidak lama dari itu, aku melihat beberapa orang dewasa berbondong-bondong menghampiri kami. Aku yang semakin bingung dan takut, tiba-tiba saja menumpahkan tangisanku di dalam pelukan Ayah. Air mataku menggenangi kedua pipiku seperti air terjun yang menjurai deras dari sisi atas tebing, tak berjeda, tak ada yang menghambat arusnya walau sedetikpun.

Di tengah kekalutan itu, kepala desa menghampiri kami, lantas memegang sebelah kanan bahu Ayah,

“Pak, sebaiknya anakmu dibawa pulang sekarang juga. Biarkan Si Mbah dan kami yang akan menangani semuanya”.

Ia menunjuk pada seorang lelaki yang aku rasa umurnya jauh di atas Ayah. Lelaki tua yang berperawakan sangar itu mengenakan pakaian serba hitam dan blangkon yang bertengger nyaman di kepalanya. Aku belum pernah melihatnya, sepertinya dia bukan dari desa kami.

Ayah pun menganggukkan kepala untuk menyetujui saran dari kepala desa, dan tanpa ragu ia pun menggendongku, menenggelamkan wajahku pada bahunya, lantas berlari membawaku pergi dari pinggir danau itu. Kami meninggalkan Tinker Bell yang masih tergeletak tak sadarkan diri. 

Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkannya di sana sedirian, aku takut orang-orang itu juga akan merisaknya. Namun, di sisi lain aku sendiri bingung dengan apa yang sedang terjadi. Aku hanya memberanikan diri untuk mengintip di balik punggung Ayah ketika menatap Tinker Bell dan orang-orang itu yang semakin jauh dari pandanganku. Seketika itu, aku pun menyadari bahwa di sana tidak ada danau yang sering aku kunjungi dan juga tidak ada pohon akasia yang tumbuh di sana, melainkan hanya pohon-pohon tebu dan rumput-rumput liar yang terlihat ingin memanjat batang tebu. 

Dan saat itu juga, aku masih bisa melihat dengan jelas Tinker Bell tidak basah kuyup karena air, melainkan darah yang membaluri tubuhnya. Hari itu, rasanya langit berubah warna lebih cepat dari biasanya. Namun, aku tidak merasakan kehangatan yang ditaburkan oleh senja.

“Ayah, apakah ada yang salah dengan Tinker Bell? Siapa sebenarnya Tinker Bell itu? Mengapa ia selalu sendirian sama sepertiku? 

Mei 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Glimpses of Us

Keluarga Kedua