A Glimpses of Us
Recreate from EN-Drama Series
Bagi lelaki bermata elang itu, bangun pagi masih menjadi musuhnya. Jadi sudah tidak heran kalau terlambat datang ke sekolah sudah menjadi kesehariannya. Dan untuk mengindari hukuman dari guru BK, Jay selalu menggunakan keahliannya untuk melompati tembok samping gedung sekolahnya. Bahkan hari itu pun sama dengan sebelum-sebelumnya, ia selalu dan sepertinya akan terus menggunakan jalur dan cara yang sama. Namun sialnya, hari itu kerah belakang bajunya tersangkut pada ranting pohon Bugenville yang berada di sekitar tembok itu. Karena memang sifatnya yang tidak sabaran, ia pun menarik paksa ranting itu agar terlepas dari kerah bajunya, namun ketidakseimbangan tubuhnya yang menyebabkan dirinya terpleset dan akhirnya jatuh ke tanah.
Dan seperti kesialan terus bertubi-tubi pada waktu yang sama, peristiwa memalukan itu disaksikan oleh seorang teman satu kelas sekaligus gadis yang ia taksir sejak lama. Namanya Eunjin, teman kelasnya yang tidak pernah bertegur sapa dengannya dari awal mula ia masuk ke sekolah ini hingga tahun keduanya sekarang. Namun meskipun begitu, Jay lumayan banyak tahu tentang gadis itu, karena gadis itu adalah siswi yang cukup berpengaruh setidaknya di kelasnya. Dan begitu pula sebagian siswa di sekolahnya mengenal gadis itu, karena Eunjin adalah salah satu anggota PMR di sekolahnya dan juga merupakan wakil ketua di kelasnya.
Dari raut wajahnya, Mereka sama-sama terkejut. dan saling bertatapan beberapa detik sebelum Jay sadar siku kanannya nyeri. Kemudian ia langsung bangkit untuk sedikit merapikan bajunya yang memang berantakan bahkan sebelum ia jatuh.
"Gak papa?", tanya Eunjin sedikit cemas.
"E..e..emm. Gak apapa", jawabnya sedikit gelagapan.
Melihat siku Jay yang terluka, Eunjin langsung berjalan menghampirinya yang masih berdiri mematung, dan dalam beberapa hitungan detik, gadis itu sudah berada tepat di depannya. Hal itu tentu membuat lelaki itu salah tingkah. Atmosfer di sekitarnya tiba-tiba saja berubah dan membuat sekujur tubuhnya seperti sedang tersetrum listrik. Sementara di dadanya, ia bisa merasakan suara jantungnya yang tengah meletus seperti ribuan kembang api. Lelaki itu bisa saja ambruk seketika.
Gadis itu merogoh saku jas nya, kemudian menyodorkan plaster luka untuknya, sambil berjalan menghampirinya. "Pakai ini. Tapi bersihkan dulu lukamu itu!", perintahnya.
Jangankan bisa berbicara dengannya seperti ini, bertatapan dari jarak jauh meskipun secara tidak sengaja saja, bisa membuat jantungnya berloncatan, apalagi harus bertatapan sangat dekat seperti sekarang. Jay bisa menangkap rasa kepedulian dan ketulusan yang ada di sepasang manik mata gadis itu. Dan itulah alasan mengapa dia tidak mampu menatapnya terlalu lama.
"Gak usah sok peduli!", ujar Jay kasar seperti orang bodoh.
Mendengar itu, Eunjin hanya bisa memutar kedua bola matanya. Seakan-akan ia sudah hafal dengan tabiat kasar dari teman satu kelasnya itu. Ia pun tidak mau ambil pusing dengan sikap lelaki yang ada di depannya itu.
"Gak usah gengsi! Ambil aja", perintahnya tak kalah judes, lalu meninggalkan Jay yang masih mematung di sana.
Entah apakah peristiwa memalukan itu yang menjadi awal mula mereka bisa mengobrol sebagai teman. Atau mungkin itu merupakan sebuah peluang bagi Jay untuk bisa mendekatinya. Karena Jay tidak bisa berbohong dengan perasaannya ketika pertama kali melihat Eunjin waktu MOS dua tahun lalu.
Sejak peristiwa di tembok samping sekolah itu, rasanya Jay semakin ingin lebih dekat dan mengobrol lebih banyak dengan Eunjin. Ia pun kembali mengambil peluang ketika mereka disatukan dalam kelompok belajar. Hari demi hari dia semakin melancarkan modusnya, seperti meminjam peralatan tulis atau buku catatannya hanya ingin mengobrol dengan gadis itu. Padahal nyatanya barang yang dia pinjam darinya tidak ia gunakan, ia akan menyimpannya sampai Eunjin yang memintanya untuk mengembalikan barang yang lelaki itu pinjam darinya.
Suatu hari, Jay tidak melihat Eunjin dikelasnya. Tapi Jay sudah tahu pasti kalau gadis itu pasti sedang bertugas di UKS. Ia pun melancarkan aksi modusnya lagi pergi ke UKS. Di perjalanannya menuju ruang UKS dia sudah memikirkan apa yang akan ia lakukan. Apakah ia harus meminta plester luka ataukah obat sakit kepala?
Namun, ketika hampir sampai di depan ruang UKS, perhatian Jay teralihkan pada celah jendela yang sedikit terbuka gordennya. Dari luar, ia melihat Eunjin sedang mengobrol dengan seseorang siswa laki-laki. Dari punggungnya saja, Jay sudah tahu siapa yang tengah mengobrol dengan gadis itu, bahkan ia lebih mengenal orang itu jauh sebelum ia mengenal Eunjin, lelaki yang tak lain suara itu adalah sepupunya sendiri, yaitu Steven. Sayangnya, ia tidak bisa mendengar secara jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Alih-alih melancarkan aksinya seperti yang sudah ia rencanakan, ia memilih untuk mengintip mereka melalui celah kecil jendela itu.
Dari sana, Jay bisa melihat dari cara Eunjin tersenyum lebar sambil mendengarkan Steven berbicara, ia sudah memastikan kalau mereka sangatlah dekat. Bahkan Jay sampai menyadari bahwa sepupunya itu sudah sangat lama tidak berbicara panjang lebar ketika bersamanya. Dan itu cukup membuat Jay sedikit merasa iri dengan kedekatan keduanya. Ia sampai bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa se-akrab itu? bukankah harusnya dia yang lebih akrab dengan sepupunya itu, karena ialah yang lebih dulu mengenal Steven dibandingkan Eunjin? Ataukah itu hanya alasannya karena sebenarnya ia sedang cemburu melihat Steven bisa lebih dekat dengan gadis itu daripada dirinya?
Namun sebenarnya, ia memang telah mengenal Steven dari ia masih sangat kecil. Bahkan ia tidak bisa mengingat kapan awal perkenalan mereka. Jay rasa mereka mempunyai ikatan jauh lebih erat daripada sebuah persaudaraan. Ia rasa ikatan itu semakin kuat, karena mereka tengah berada di dalam lubang kegelapan yang sama. Jay dengan segala problematika kepribadiannya dan Steven dengan sikap misteriusnya.
Mungkin hal itu sebenarnya juga bukan keinginan mereka. Hal itu terjadi karena mereka merasa sudah tidak memiliki ruang di dalam keluarga sendiri seperti halnya kebanyakan orang. Keluarga Jay hancur karena orang ketiga yang ingin merebut posisi Ayahnya dari Ibunya. Saat masih berusia sepuluh tahun, ibunya memilih pergi bersama lelaki pilihannya meninggalkan dirinya. Hal itu membuat Ayahnya sangat terpuruk dan tempramental. Sementara Steven selalu dirundung rasa bersalah, karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya. Sehingga ia berpikir kalau Ayahnya telah membenci dirinya, karena tidak pernah ingin berbicara dengannya hingga saat ini.
Itulah mengapa mereka saling mengerti keadaan masing-masing tanpa harus membagi cerita satu sama lain. Mereka mempunyai banyak kesamaan kecuali kepribadian. Namun untuk sesuatu yang mereka sukai dan sesuatu yang mereka benci itu, hampir semuanya sama. Seperti halnya mereka sama-sama menyukai musik dan membenci untuk dikasihani. Karena menurut Jay, ketika ia dikasihani, ia akan terlihat menyedihkan, sehingga membuat dirinya merasa rendah di mata orang yang mengasihani dirinya. Ia tidak ingin menjadi lemah, tidak berdaya, dan bergantung pada orang lain. Pada saat mendengar perkataannya itu, Steven hanya mengangkat kedua matanya menatap Jay. Jay hanya mengangkat kedua alisnya.
Sejak kecil mereka selalu menghabiskan waktu bersama, mulai dari sejak mereka masih TK hingga SMA, sekolah mereka sama. Meski kadang berbeda kelas seperti saat ini, mereka selalu pulang sekolah bersama, kecuali ketika berangkatnya, karena Jay terlalu sering bangun kesiangan.
Seperti hari-hari sebelumnya, sore itu, Jay terlebih dahulu pergi ke kelas Steven untuk menjemputnya agar bisa pulang bersama, kebetulan kelas Steven berada di ujung gedung. Namun ketika ia telah berada di bibir pintu, kakinya terhenti karena ia melihat Eunjin lebih dulu menghampiri Steven yang masih membereskan buku-buku di mejanya. Gadis itu kemudian menyodorkan paperbag pada Steven yang Jay rasa itu seperti hadiah.
Tentu melihat pemandangan itu, ada perasaan iri yang mulai berkecamuk di dadanya. Sehingga lagi lagi muncul pertanyaan di kepalanya. Apakah sedekat itu mereka? Dan akhirnya lamunannya itu disadarkan dengan lambaian tangan Steven ke arahnya. Menyadari hal itu, Eunjin juga menoleh ke arahku.
"Aku nunggu di depan, Stev", ujar Jay, kemudian menjauh dari mereka.
***
"Aku suka sama dia, Jay", ujar Steven tiba-tiba ketika mereka berjalan pulang.
"Hah?", tanya Jay. Ia memastikan takut ia salah dengar.
"Eunjin, teman kelasmu. Aku menyukainya", jawabnya tanpa ragu.
Mendengar hal itu, tentu membuat Jay terkejut, sampai-sampai lelaki itu tidak tahu cara merespon pengakuan sepupunya itu. Bukan perihal Steven yang menyukai gadis itu. Akan tetapi sikap terang-terangannya itu yang tidak ia percaya bisa keluar dari mulut Steven yang ia tahu bahwa sepupunya itu adalah orang yang tak segan menyimpan segala sesuatu sendiri tanpa menceritakan kepada orang lain termasuk dirinya.
"Sepertinya kau akrab dengannya", Steven menoleh ke arahnya.
Jay hanya mengangkat kedua bahunya
"Jay, bisakah kau mengalah padaku, kali ini saja?", pinta Steven
"Kamu kira aku juga menyukainya? Jangan konyol. Kau tahu aku, 'kan? Dia bukan tipeku. Lagi pula aku tidak terlalu akrab dengannya. Orang seperti dia sangat membosankan bagiku. Jika kamu ingin aku menjauhinya, akan aku lalukan. Kamu tidak perlu memintanya", ujar Jay.
Seperti biasa, tanggapannya akan terdengar sangat bodoh ketika mulutnya tidak sinkron dengan hatinya kala. Namun, ia tidak ingin mengecewakan sepupunya itu dengan mengatakan kalau sebenarnya ia juga menyukai Eunjin. Ia pikir tidak ada salahnya memendam perasaannya dan mengalah untuk Steven, karena sedari kecil sepupunya itu yang lebih sering mengalah untuknya. Kali ini, ia akan menganggap itu merupakan 'white lie' atau berbohong untuk kebaikan.
***
Siang itu, Jay kembali terlibat perkelahian dengan beberapa siswa di sekolahnya. Seperti perkelahian yang biasanya, emosinya tersulut oleh siswa yang menyindir-nyindir perihal perceraian orang tuanya. Dari pada membiarkannya seperti apa yang dilakukan oleh Steven, Jay memilih untuk membungkam mulut mereka dengan kepalan tangannya.
Buah dari perkelahian itu sudah pasti membuat wajahnya babak belur, segingga Jay dan beberapa siswa yang terlibat perkelahian itu dibawa pergi ke ruang UKS untuk diobati lukanya. Dan ternyata, waktu itu Eunjin yang sedang bertugas di sana.
Eunjin menghampirinya membawa kotak P3K dan duduk di sampingnya. Lagi dan lagi lelaki itu tidak bisa mengontrol degup jantungnya. Sementara gadis itu masih sibuk menyiapkan kapas dan beberapa antiseptik untuk membersihkan lukanya. Ia masih teringat dengan obrolannya dengan Steve kemarin malam, ia berjanji akan menjauhi Eunjin. Akan tetapi di posisinya yang sekarang, justru membuatnya merasa sudah melanggar janji.
Tidak ada angin atau pun hujan, tiba-tiba Jay bangkit dari tempat duduknya dan berkata,"Jangan sentuh aku?"
"Hah?", ujar Eunjin dengan mata sedikit terbuka lebar. Tentu gadis itu terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Jay, begitu pun semua orang yang juga ada di ruang UKS pada waktu itu, mereka memandang keduanya untuk beberapa waktu sebelum Eunjin menyuruhnya agar duduk kembali. Sementara Jay juga merasa kaget dengan apa yang ia katakan barusan. Bukankah itu terdengar sangat berlebihan? batinnya
Eunjin menghembuskan nafas panjangnya, kemudian berkata: "Marah, kesal itu memang hak setiap orang. Tapi setiap orang juga berhak memilih reaksi mereka terhadap rangsangan dari luar itu. Aku tidak tahu apakah aku berhak atau enggak ngomong kayak gini. Tapi yang pasti, meladeni emosi kamu dengan cara berkelahi bukan pilihan yang benar. Karena gak ada api yang padam karena di siram bensin".
Lagi lagi tidak ada respon yang keluar dari mulut Jay. Lelaki itu seperti sedang tersihir oleh Eunjin.
"Mengapa kamu sering terluka, sih?", tanya gadis itu sambil masih membersihkan luka di wajahnya.
Dan beberapa detik dari itu, Eunjin kembali berkata: "Jay, aku tidak tahu kamu akan peduli atau tidak. Tapi mungkin, ada seseorang yang merasa sedih melihat kamu terluka seperti ini".
Gadis itu menatap kedua manik matanya. Ah, mata yang lagi lagi tidak bisa ia tatap begitu lama. Tatapan itu mampu melubangi kepala belakangnya. Sementara Kata kata yang dilontarkan oleh gadis itu seperti telah menelusup masuk ke rongga dadanya kemudian mengobrak-abrik jiwanya tanpa memberinya sedikit jeda untuk mengambil udara.
***
Tanpa sadar Jay tertidur di ruang UKS. Ia menatap jam yang menggantung di dinding UKS, menujukkan jam 15.50, dan sepuluh menit lagi akan pulang. Ia pun bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan keluar menuju kelasnya. Benar saja teman-teman kelasnya sudah membereskan buku-buku mereka. Tetapi lelaki itu tidak mendapati Eunjin di tempat duduknya. Sempat ia bertanya-tanya kemana perginya gadis itu, tidak biasanya dia pulang sekolah lebih dulu.
Bel pulang pun berbunyi. Jay bergegas ke luar untuk menghampiri Steven di kelasnya, tapi sepupunya itu juga tidak ada. Ia bertanya pada teman kelas Steven, menurut mereka sepupunya itu sudah keluar barusan. Jay berpikir mungkin Steven menunggunya di depan, ia pun berjalan menuruni satu per satu anak tangga dari lantai empat.
Sesampainya di halaman sekolah, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh amat keras kemudian disusul dengan jeritan histeris dari beberapa siswa, Jay pun menoleh ke arah suara itu berasal begitupun beberapa siswa yang berjalan di depannya. Dari tempat sumber suara itu, beberapa siswa juga telah berkerumun di sana. Sedangkan beberapa siswa masih berlari menghampiri kerumunan itu begitupun dirinya. Dan penyebab kerumunan itu adalah seorang siswi sekolahnya yang sudah terkapar di atas tanah dengan darah segar yang masih mengalir deras dari kepalanya dan membuat sebagian rambut coklatnya menjadi basah. Jay tidak sanggup melihatnya. Namun dalam sekejap mata, lelaki itu bisa mengetahui bahwa gadis itu adalah Eunjin, gadis yang selama ini menjadi alasan mengapa harinya sedikit lebih berwarna.
Sementara dari kerumunan siswa lainnya yang tengah menyaksikan langsung peristiwa itu, Jay bisa mendengar desas-desus bahwa gadis yang sudah terkapar bersimbah darah di depannya itu jatuh dari rooftop. Ia pun mendongakkan kepalanya menatap rooftop, di atas sana ia melihat seseorang baru saja membalikkan badan dan berjalan menjauhi pinggir rooftop. Dia sangat hafal punggung itu, caranya membalikkan badan, caranya berjalan . Ia langsung bisa mengetahuinya bahwa lelaki di rooftop itu adalah Steven, sepupunya.
Tanpa pikir panjang, Jay pun berlari sekencang mungkin menuju rooftop. Namun ketika hampir sampai di pintu masuk rooftop ia melihat Steven yang berjalan ke luar dari sana. Benar perkiraannya, seseorang yang dilihatnya tadi adalah Steven. Sepupunya itu berjalan dengan pandangan kosong ke arahnya, sedangkan di tangan kirinya ada sebuah buku yang ia pegang.
Jay langsung menghampirinya dan menarik kerah bajunya. "Kenapa kau keluar dari sana? Apa yang sudah kau lakukan di sana?", tanyanya dengan suara tinggi sambil menunjuk ke arah pintu masuk rooftop.
Steven hanya menyeringai
Rasanya sekujur tubuh Jay mendidih, ditambah pikirannya semakin kemana-mana sehingga emosinya tidak terkontrol. Entah setan dari mana yang telah membisiki telinganya sampai-sampai ia berpikir kalau Steven-lah yang membuat Eunjin jatuh dari rooftop. Dan seper sekian detik ia langsung menonjok wajah Steven beberapa kali sampai terjatuh ke lantai. Bersamaan dengan itu pula, darah segar mulai keluar dari sudut bibir sepupunya itu.
"Kenapa kau lakukan itu padanya?"
Steven tetap bungkam. Ia malah tersenyum lebih menyeringai dari sebelumnya. Melihat wajah sepupunya itu, tentu Jay semakin geram dan semakin percaya kalau Steven-lah pelakunya. Gigi-giginya sudah menggeretak sejak tadi hingga membuat rahang tajamnya semakin jelas terlihat. Ketika ia akan kembali melayangkan pukulannya pada Steven, tiba-tiba Steven membuka mulutnya, dan berkata: "Itu salahmu!", sentaknya dengan tatapan serius. "Tanya pada dirimu sendiri kenapa aku melakukannya!", tukas Steven dengan penuh penekanan. Raut kemarahan di wajahnya itu diperlihatkan oleh alis tebalnya seakan-akan tengah menyatu.
Mereka saling bertatapan dengan tajam. Bara api saling berkobar di mata dua lelaki itu. Dan setelah beberapa detik kemudian, Jay menyadari perihal siang tadi di ruang UKS. Dalam kepalanya, ia berpikir mungkin sepupunya kesal melihatnya bersama Eunjin di ruang UKS. Tapi jika itu alasannya, tindakan gila sepupunya itu sama sekali tidak bisa diterima oleh siapapun, apalagi oleh Jay. Dan lagi pula Jay sudah berusaha menjauhi gadis itu, namun keadaan yang mengacaukan segalanya. Ia ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi siang itu agar Steven tidak salah paham. Jay pun mulai mengendorkan cengkeramannya di kerah seragam sepupunya itu. Kemudian mulai berkata: "Aku ta..."
Belum sempat Jay mulai menjelaskan peristiwa itu, tiba-tiba Steven langsung memotong perkataannya. "Aku benci tatapan dia. Tapi aku lebih benci cara kau menatap dia!", tukasnya dengan nada paling kasar yang pernah Jay dengar dari mulut sepupunya itu. Namun dari suara itu, ada getaran yang juga beresonansi di dalamnya, seakan-akan kata-kata itu telah ditahan sejak lama.
Jay masih tertegun di posisinya. Ia berusaha mencerna apa yang barusan dikatakan oleh Steven. Sedangkan Steven bangkit dari posisinya lalu melempar kasar sebuah buku ke hadapan Jay yang sejak tadi ia pegang itu. Jay meraih buku itu, di sampul buku itu tertulis judul "Emotional First Aid". Kemudian ia membukanya dan mendapati tulisan "From your precious friend, Eunjin" di halaman paling depan buku itu. Jay tidak mampu berkata-kata apa-apa. Tapi seakan-akan ia bisa mengerti semuanya namun ia tidak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Peristiwa itu terjadi begitu singkat dan membuat dirinya sangat terguncang. Di sisi lain, ia hanya berharap ia bisa segera bangun dari mimpi buruknya itu.
Komentar
Posting Komentar