La Vie En Rose
Hampir setiap malam, aku merasakan sesak yang memenuhi dadaku. Hingga hari ini pun sesak itu tak kunjung berkurang sedikitpun. Rasa marah, kesal, sedih dan takut terus menjejal di setiap aliran darahku. Mereka saling riuh menyuarakan kesepian dan keresahan di sela-sela deru nafasku. Ada rasa muak dan sesak yang tidak bisa aku bagi dengan siapapun. Namun, air mataku telah kering jauh sebelum aku melihat lelaki yang sangat aku cintai tengah terbujur kaku.
Dulu, mungkin tidak ada orang yang tidak mengenali dirinya di negeri ini. Seorang lelaki itu berstatus sebagai suamiku. Waktu melihat dia muncul pertama kali di televisi, dalam sebuah program interview yang diselenggarakan oleh sebuah stasiun televisi, di mataku dia seperti seorang pangeran berkuda putih yang datang dari tenggara. Mungkin pada waktu itu, bukan hanya aku saja yang berpikiran seperti itu, aku yakin banyak orang yang juga setuju denganku.
Hampir semua film, sinetron bahkan iklan yang dibintangi olehnya telah sukses di pasaran. Dia memang sangat tekun dan professional dalam pekerjaannya. Hal itulah yang membuatku bangga telah dimiliki olehnya. Namun, di sisi lain, tidak ada orang yang mengetahui perihal pernikahan kami, kecuali orang tuaku, karena memang pada awalnya aku yang melarang untuk memberitahukan hal itu pada media ataupun publik. Aku tahu bahwa seorang aktor akan sangat susah mendapat tempat jika dia ketahuan sudah beristri.
Aku memandang foto terakhir yang pernah kami ambil bersama sekitar sembilan tahun yang lalu. Foto keluarga kami yang tidak lengkap. Memang pada waktu itu, aku yang memintanya untuk lebih fokus mengejar mimpinya dan mengesampingkan program kehamilan.
Kemudian, sampai di mana dia berada pada puncak karirnya, dia pun menyuruhku untuk melepaskan semua kegiatan luar. Akhirnya, aku berakhir di dalam apartemen ini, menghabiskan kegiatan sehari-hari di dalam apartemen yang kami beli itu. Aku memang akan melakukan apapun untuk terus mendukungnya dari belakang layar.
Sedangkan untuk segala bentuk pengeluaran dan kebutuhan, suamiku yang mengurus segalanya, mulai dari tagihan perbulan hingga pertahun, belanja mingguan hingga bulanan, bahkan kebutuhanku mulai dari pakaian, obat-obatan sampai ke perawatan wajah dan kulit semua dia yang urus. Tentu saja pada waktu itu, aku merasa diperlakukan sangat istimewa olehnya.
Di samping itu, bentuk pertemuan antara aku dengannya, selalu dan akan dilakukan di apartemen ini. Ditambah sejak dia berada di puncak karirnya. Jadi jangan tanyakan seluk beluk kawasan tempat tinggal kami, letak parkiran di apartemen ini aku saja sudah lupa. Hal itulah yang membuatku terkadang merasa sedang terkurung, dan tak jarang juga aku berpikir dia sedang menjadikanku seorang Rapunzel atau seorang simpanan. Ah, hal itu tidak terlalu mengganggu pada awalnya, karena pada waktu itu aku sangat menikmati kehidupan yang telah ia berikan padaku.
Menikah dengan seorang seniman aktor mungkin pernah menjadi mimpi bagi beberapa orang, termasuk diriku. Maka dari itu, aku mendukungnya penuh untuk mewujudkan mimpi yang dimiliki oleh suamiku. Awalnya aku kira suatu saat ada masanya kehidupan kami akan terlihat normal seperti pasangan-pasangan biasanya. Kami akan mencari waktu yang tepat untuk mengumumkan kebenaran tentang pernikahannya denganku kepada publik. Namun, hingga bertahun-tahun, yang terlihat normal hanya kehidupnnya, tidak dengan kehidupanku. Terbukti ketika semakin bertambah tahun, karirnya semakin naik, dan aku rasa tidak mungkin untuk memberitahukan media perihal itu. Ditambah lagi, dia juga semakin membatasi komunikasi denganku karena jadwal yang dia miliki semakin padat.
***
Aku ingat, pada waktu itu sudah lima tahun lebih dia tidak pulang untuk sekedar menampakkan wajahnya padaku. Masa-masa sulit yang pernah aku alami. Hari itu, dimulai ketika aku merasa semakin asing dengan suamiku sendiri. Tidak seperti biasanya, setiap hari pernikahan kami, dia akan selalu pulang menemuiku. Namun, hari itu, tepat lima tahun yang lalu adalah aku benar-benar kehilangan kabar darinya. Dia tidak lagi pulang ataupun menagbariku lewat pesan.
Pada awalnya, aku memang selalu berusaha untuk mengerti posisinya. Dan aku juga memang bukan perempuan yang terobsesi untuk mendapatkan perlakuan romantis dari pasangannya. Apalagi kami bukan pasangan muda lagi, dan aku pun sudah terbiasa dengan hal itu. Namun, pada hari itu, aku menjadi teramat kesal, hingga beberapa kali aku menyumpahi dirinya. Sebulan dua bulan bahkan setahun dua tahun aku menunggunya hingga lima tahun ini dia tidak lagi muncul di kehidupanku. Selama itu juga, dia tidak pernah menghubungiku walaupun hanya mengirimiku pesan. Sedangkan di sisi lain, aku hanya mengetahui kabarnya lewat televisi dan akun media sosial miliknya, postingan terkahirnya pun sudah tiga tahun yang lalu. Namun, aku masih tidak pernah lelah menunggunya untuk pulang.
Hingga suatu ketika, air di apartemen kami mati, mau tidak mau aku harus menemui petugasnya. Ternyata sudah enam bulan kami menunggak tagihan air. Aku juga baru menyadari bahwa belanja bulanan pun terakhir kali ia kirim tiga bulan yang lalu. Aku pikir mungkin itu adalah akhir dari kami. Aku pun mencoba menerimanya meskipun selama lima tahun terakhir itu setiap malam, aku terus dilanda oleh rasa dendam kepada suamiku itu.
Dua bulan dari kejadian itu, aku bertekat untuk membuka lembaran baru. Aku pergi ke beberapa perusahaan fashion untuk melamar pekerjaan, meskipun berkali-kali mereka selalu menolakku lantaran umurku yang sudah menginjak kepala tiga. Akhirnya, aku mengambil pekerjaan sebagai buruh pabrik tekstil di pinggiran kota. Hingga akhirnya aku bisa menyewa sebuah toko dan membeli mesin jahit untuk mulai membangun lagi keahlianku dulu.
Aku masih tinggal di apartemen ini. Aku memang tidak berniat untuk membeli rumah baru. Selain karena aku juga memiliki hak atas kepemilikan apartemen ini, jauh dari dalam lubuk hatiku aku masih ingin menunggu suamiku pulang. Hingga pada suatu malam, seseorang menekan bel apartemen ku. Aku benar-benar kaget dan sedikit takut, sebab selama aku tinggal di sini, tidak ada seorangpun yang bertamu. Jelas itu bukan suamiku, sebab dia memiliki sandi apartemen kami dan tentu dia akan langsung masuk tanpa menekan bel.
Setelah aku membuka pintu apartemen, aku mendapati seorang lelaki dengan setelan jas rapi berwarna hitam. Umurnya masih sangat muda, sekitar awal dua puluhan. Pemuda itu tengah berdiri menghadap pintu apartemen. Dia cukup lama manatapku. Kami sama-sama mematung dengan posisi saling berhadapan satu sama lain. Aku lihat dia sama bingungnya denganku yang sama sekali tidak saling mengenal. Kemudian beberapa detik dari itu, aku tersadar dan menanyakan keperluannya.
Pemuda itu mengatakan jika dia hanya diperintahkan untuk datang kesini dan mengabari aku tentang keadaan suamiku yang sedang berada di rumah sakit. Pemuda itu juga yang mengantarkan aku bertemu dengan suamiku. Sesampainya di rumah sakit, pemuda itu hanya memberi tahuku letak kamar yang sedang suamiku tempati. Kemudian sebelum dia pergi meninggalkanku, dia memberiku sebuah kartu ATM dan sebuah mantel untukku. Selepas itu, aku mempersilahkannya pergi.
Pada waktu aku membuka pintu ruangan tempat dia di rawat, aku sedikit terpaku dan tidak percaya dengan yang aku lihat. Suamiku yang dulunya bak seorang pangeran impian, bertubuh kekar dan berwajah sangat tampan dengan senyuman yang selalu terukir di bibirnya bahkan ketika dia sedang tertidur. Namun, hari itu aku lihat tubuhnya sangat kurus dengan selang infus yang ada di hidungnya. Kulitnya menjadi sangat kusam. Wajahnya pun terlihat sangat tirus dan bibirnya tidak lagi melahirkan sebuah senyuman melainkan melainkan raut wajah murung yang sedang aku tangkap dari garis-garis wajahya yang semkin nampak jelas. Ketika dia mulai menyadari keberadaanku, dia membuka matanya. Dan dengan susah payah dia juga mulai membuka mulutnya yang hampir terkunci rapat itu.
“Kamu datang?”. Itu kata-kata yang pertama kali keluar dari mulutnya setelah lima tahun lalu.
“Emm…..”. Aku menjawab sekenanya saja.
Ada perasaan yang tidak bisa aku luapkan dihadapannya. Aku masih tidak percaya dengan kenyataan yang waktu itu aku lihat. Bagaimana dia bisa berakhir seperti ini? Apa yang telah terjadi di dalam hidupnya lima tahun yang lalu. Tenggorokanku rasanya tercekat. Jangankan untuk menelan ludah, bernafas pun rasanya sesak.
***
Sejak kondisi suamiku bisa dibilang sudah ada peningkatan, meskipun tidak seutuhnya membaik, aku memutuskan untuk merawat jalan dia. Hal itu bukan tanpa alasan, ketika melihat tagihan rumah sakit yang begitu besar. Meskipun kami masih mempunyai sisa uang tabungan yang dia hasilkan selama dia bekerja sebagai aktor, pada akhirnya uang akan habis jika kita pakai. Karena memang jumlah tabungan di rekeningnya yang waktu itu diberikan padaku tidak seberapa dibandingkan dengan hasil kerjanya. Entah pergi ke mana uang-uang itu. Sedangkan aku tidak tahu kapan suamiku akan sembuh, dan kami juga perlu memenuhi kebutuhan sehari-hari lainnya.
Menurutku hidup seperti ini tidak bisa aku jalani sesederhana seperti yang orang-orang katakan. Aku sering mendengar ketika mereka berkata di sosial media ‘meskipun hidup terasa sangat keras, ikuti arusnya saja, suatu saat kamu akan sampai pada tujuan yang kamu inginkan’. Jika aku terus mengikuti arusnya, aku akan mati terhanyut ketika sampai di lautan. Untuk itu aku harus belajar berenang, atau memilih untuk berjalan di atas daratan.
Ada juga yang berkata demikian, ‘setelah hujan akan ada pelangi’. Cih! Persetan dengan perkataan-perkataan seperti itu. Mereka mungkin sudah melupakan ketika hujan yang turun sangat deras akan menyebabkan banjir bandang dan longsor. Mereka juga lupa bagaimana jika hujan turun di malam hari, apakah orang-orang masih bisa melihat pelangi?
Kehidupan manusia sangat kompleks. Bahkan bernafas saja kadang salah. Dan kebanyakan dari mereka yang mengatakan hal-hal seperti itu, adalah orang-orang yang mungkin tidak pernah merasakan bagaimana rasa putus asa terus menjalani kehidupan yang tidak diinginkan oleh sebagian orang di luar sana. Aku tahu setiap perahu menghadapi ombaknya masing-masing. Akan tetapi, seharusnya mereka tidak selalu meremehkan masalah yang tengah dihadapi orang lain. Karena tidak semua orang memiliki ketegaran sampai puncak akhir.
Ah, mau bagaimana lagi, manusia memang hanya mempunyai mulut, maka dari itu mereka hanya bisa berbicara. Mereka marah kemudian memaki, mereka diam kemudian menangis, dan ketika mereka memilih untuk berlari, sedetik kemudian mereka mengeluh. Dan di antara mereka, aku juga berada di barisan itu.
***
“Aku ingin ke kamar mandi”
Padahal baru lima menit, aku baru mengantarnya ke kamar mandi, bahkan kakinya saja masih basah.
“Aku minta ganti selimut”
Hampir setiap hari aku mengganti selimut baru untuknya. Aku sampai tidak memiliki tempat untuk menjemur pakaian di balkon.
"Kasurnya tidak enak”
Itu merupakan keempat kasur baru yang aku beli selama dia tinggal di sini. Bahkan kasur terakhir dibeli baru seminggu yang lalu.
“Aku tidak ingin makan bubur”
Bubur adalah makanan yang paling aman untuk orang yang sedang sakit.
“Aku susah menelan pilnya”
Huftt, jika ingin sembuh, ya harus rajin minum obat. Aku sedang tidak memberinya racun.
Akhir-akhir ini, aku menjadi sangat muak dengan kata-kata itu. Apakah ini efek kelelahan selama aku bekerja, ataukah sisa kesabaranku yang semakin menipis untuk mengurusi dirinya. Sebenarnya aku selalu menuruti permintaannya itu walau dengan hati yang terus menggerutu. Tetapi diantara kata-kata itu. Aku lebih muak dengan kata-kata ini: “Tolong angkatkan telfonnya”
Hampir setiap hari, bahkan setipa waktu, aku menerima telfon dari beberapa orang dari ponsel miliknya. Ada beberapa wanita yang mengaku pacarnya, ada yang mengaku wartawan, ada yang mengaku direktor film, ada juga yang mengaku sebagai depkolektor. Aku sampai bingung dan marah dibuatnya. Bingung entah apa yang harus aku jawab dan marah ketika pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya selalu mencecarku lewat kanal-kanal suara itu. Keperluannya pun bermacam-macam mulai dari menagih janji, menagih tunggakan, mengajaknya liburan ke luar negeri, dan ada juga yang menawari projek baru.
Pada suatu hari, aku mendapat telfon dari seorang wanita yang mengaku akan dinikahinya seminggu lagi. Sontak aku langsung membanting ponselnya yang ada di genggamanku pada waktu itu. Aku melihatnya lamat-lamat. Dia menatapku balik setelah melihat ponselnya yang telah hancur berkeping-keping. Dia tidak protes sama sekali. Di sisi lain, aku merasa sangat kesal sekaligus kasihan ketika melihat badannya yang terbujur kaku itu tidak bisa digerakkan sama sekali, berbicara saja sangat sulit bagaimana bisa dia mengucapkan ijab qobul dengan keadaannya yang seperti itu?
“Kamu lelah?”
Aku menarik nafas panjang. Kemudian berjalan menghampirinya yang tengah berbaring di kasur dengan membawa semangkuk bubur.
“Emm, Kalau aku bilang tidak. Mungkin Tuhan telah mengangkat aku menjadi seorang malaikat”, jawabku ketus sambil menyuapkan bubur padanya.
Aku memang masih teramat kesal padanya hingga saat ini. Namun, di sisi lain, aku hampir tidak pernah bertengkar dengannya sejak awal kami menikah, sebagaimana selayaknya sepasang suami istri yang pasti ribut di setiap pagi. Oh, Tuhan bagaimana bisa aku menyebut ikatan kami sebuah keluarga, jika semakin hari aku merasa semakin asing dengannya.
Pada awalnya aku berpikir mungkin karena dia lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang di luar daripada denganku. Bahkan aku sudah terbiasa dengan pemikiran: dia hanya menjadi suamiku ketika dia pulang menemuiku, sedangkan ketika dia berada di dunia luar dia adalah kekasih orang lain, suami lawan mainnya, bahkan kekasih para penggemarnya. Aku menganggap hal itu sebagai bentuk profesionalisme dari dirinya, bukan menganggapnya sebuah perselingkuhan. Ini memang terdengar sangat naif. Akan tetapi, aku termasuk orang-orang naif yang telah mendorongnya melakukan hal itu.
“Maafkan aku”, aku melihatnya menunduk dan meneteskan air mata.
“Gak ada yang perlu dimaafin. Karena gak ada yang bersalah”.
“Apakah kau menyesal menikah denganku?”, Meskipun pertanyaan yang terdengar seperti igauan itu telah diungkapkan keseribu kalinya, hal itu terdengar seperti sebuah letusan yang langsung menghantam dadaku. Pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan olehku akan pernah keluar dari mulutnya.
“Penyesalan adalah adalah milik orang-orang lemah. Dan sekarang aku sedang berada di titik itu”. Ini adalah jawaban terakhir yang aku berikan padanya.
Aku menyesal menerima dirinya dalam hidupku. Karena hal ini, aku harus merasakan penderitaan yang tidak bisa orang lain lihat semasa aku bersamanya. Apakah jika dulu aku menolaknya, kemalangan ini juga tidak akan menimpanya? Lihatlah dirinya yang sekarang telah kehilangan masa kejayaannya. Aku pikir ini seperti sebuah kutukan.
***
Aku masih duduk di kursi ruang utama apartemen kami. Ruang dimana pertemuan aku dengannya yang biasa dulu kami lakukan setiap bulan. Di mana sehari itu, kami habiskan sekedar bercerita tentang pekerjaannya, menonton film atau membaca buku. Dan setiap kali dia datang, dia akan selalu membawa beberapa tangkai bunga mawar. Aku melihat sebuah gelas kaca yang terisi oleh beberapa bunga mawar berwarna merah muda yang telah mengering di meja pojok dekat dengan jendela. Dia menyuruhku untuk membelinya seminggu yang lalu, dua hari sebelum hari pernikahan kami. Aku pun menjadi teringat dengan perkatannya pada saat terjadi momen terbahagia dalam hidupku waktu itu,
Sebentar lagi, aku akan mengajakmu untuk merasakan kehidupan La vie en rose”, ia berlutut sembari memberiku sebuah buket mawar merah muda ketika ia melamarku sebelas tahun yang lalu.
Pada hari itu senyumku sangat rekah seperti kuntum-kumtum mawar merah muda yang dia berikan padaku. Ungkapan itu masih terdengar sangat manis di telingaku. Dan terkadang aku bisa merasakan getaran dari hatiku yang membuat tubuhku terpaku dan sedikit merinding hingga hari ini. Mungkin, jika aku bisa mendengar ungkapan itu lagi, aku bisa terbang dalam sekali kepakan dari balkon apartemen kami.
“Mawar-mawar itu telah layu dan beberapa mahkotanya telah gugur. Akan tapi, hal itu tidak membuat duri-durinya menjadi tumpul”.
Dan malam itu, adalah hari terakhir aku melihat lelaki itu. Lelaki yang sepuluh tahun telah menghiasi hari-hariku. Dan malam itu juga, ia telah terbaring kaku di sebuah kasur tanpa infus ataupun alat bantu pernafasan lainnya.
2023
Komentar
Posting Komentar