Cerpen: Halte 04

Halte 04

Karya : Emilia Hermawati


Illustration by pinterest


Hujan kala sore menjelang malam adalah hal yang kurang disukai oleh sebagian orang. Mungkin juga bagi orang-orang yang sedang menghuni Halte 04 saat ini. Punggung-punggung mereka terus dipaksa untuk bersabar sepanjang penantian. Ditambah lagi ketika hujan deras, kedatangan bus umum sering kali tertunda dari jadwal biasanya. Halte ini sebenarnya cukup besar untuk bisa menampung kurang lebih lima belas sampai dua puluh orang. Meskipun tidak semua penghuni halte ini memiliki kesempatan untuk duduk di kursi tunggu, 

Sore ini, tidak seperti hari-hari biasanya, halte ini terlihat cukup sepi penunggu. Hanya ada seorang wanita paruh baya, dua orang pegawai kantor, dan tentunya aku yang memanggul ransel sambil memangku buku-buku kuliah. Tidak ada yang berubah dari pemandangan setiap harinya, hening dan dingin. Persis seperti perkataan sepupuku yang menjadi alumni penghuni halte ini, ‘penghuni halte 04 adalah zombie millennial’. Mereka adalah orang-orang sibuk yang hanya menatap layar ponsel mereka tanpa ada yang mengasuh obrolan singkat satu sama lain. Sungguh halte ini terasa angker, mereka saling membisu seperti orang mati.

Hujan rupanya masih terlihat sudi menampar bumi. Sejak dua jam yang lalu, ia jua terlihat tak ingin ingkah begitu saja. Tak ada suara yang memaki kehadirannya, seakan-akan kami terlalu hanyut dalam keheningan halte yang lembab dan dingin ini. Di sisi lain, aku pun tak jengah menatap air yang jatuh membasahi beberapa pohon yang menjulang seperti tiang di pinggir jalan. Bagiku, hujan bukan hanya jatuh menyisakan genangan lantas menanggalkan kenangan, namun kehadirannya kadang juga mengusik pikiran lantas mengasuh kerisauan. Seperti saat ini, kerisauanku semakin bertambah saat menatap jalanan yang kian basah dan menyaksikan beberapa pengendara motor yang memaksa untuk membelah rebas hujan.

Aku menatap jam yang melingkar di lengan kiri ku. Waktu sudah menunjuk pada pukul 17.15. Akan tetapi, bus tak kunjung tiba. Langit yang mendung perlahan-lahan semakin menampakkan sisi gelapnya, dan hujan pun masih konsisten dengan derasnya. Sedangkan, jalanan aspal nampaknya sudah tak mampu menyerap air hujan dan keringat orang-orang yang seharian memperjuangkan hidup mereka.

'mungkin lima menit lagi' batinku sembari menghitung jumlah tiang-tiang pagar besi yang melindungi rumah besar di seberang jalan sana.

“Ciiiitt!!”

Bunyi rem bus yang berhenti di depan kami tepat sepuluh menit meleset dari perkiraanku. Hujan pun mulai mereda, hanya menyisakan suara rintik yang terdengar dari atap seng halte. Ketika pintu bus menyalang terbuka, aku pun bergegas naik ke atas bus dan memilih sisa tempat duduk di dekat jendela tanpa memedulikan tiga orang yang bersamaku di halte tadi. Toh, tanpa aku ajak sekali pun, mereka juga akan naik ke bus pada akhirnya.

Tidak perlu menunggu waktu lama, supir pun mulai menjalankan busnya tepat setelah beberapa detik pintu bus tertutup rapat. Namun, tak lama dari itu juga beberapa penumpang bus termasuk aku sedikit dikagetkan oleh suara teriakan seseorang perempuan yang berasal dari luar bus. 

“Pak, pak tolong hentikan busnya, saya mau ikut!”. Perempuan muda itu berlari mengejar bus kami sambil melambaikan tangannya, suaranya sayup-sayup terdengar dari kaca jendela bus. Dan bersamaan dengan waktu itu juga bus berhenti dan perempuan itu langsung menaiki tangganya setelah pintu bus kembali terbuka. Kemudian, tanpa sedikit ragu dia pun duduk di sebelahku dengan nafas yang masih tersengal-sengal

“Heummm….fyuuuhhh…”, perempuan itu mengatur kembali nafasnya dengan nada yang dia ciptakan dari gerakan tangannya. Kemudian, dia meletakkan sebuah tas cello di depan kakinya yang awalnya barang itu melekat di punggungnya. Gaun dan rambutnya terlihat sedikit basah akibat terkena hujan. Namun, penampilan yang sedikit berantakan itu, sedikitpun tak mengurangi keanggunan yang ia miliki.


***

Beberapa menit berlalu, masih hening. Sampai perempuan di sampingku itu menoleh ke arahku dengan tersenyum lebar. Sedangkan aku tidak bisa mengartikan ekspresi itu.

 “Biar ku tebak, kau sedang mencari pekerjaan, bukan?” ia bertanya padaku yang terdengar seperti sebuah ejekan bagiku.

'dihh! sotoy banget, peramal amatir nih paling' makiku dalam hati, dan mungkin sekarang wajahku juga sudah terlihat memerah padam.  Apakah wajahku sudah mulai menua karena akhir-akhir ini jarang melakukan skin-care routine? Atau ekspresiku terlihat se-menyedihkan itu untuk standar kesetresan yang dialami mahasiswa-mahasiswa biasanya? Ataukah mungkin dia sedang mengejekku karena selama di halte tadi, aku duduk bersama orang-orang itu? Eh tunggu, bukankah dia tidak di halte tadi, bagaimana bisa tahu siapa saja penghuni halte tadi? Ah pertanyaan-pertanyaan di kepalaku lebih menyebalkan!

“Maaf kak, saya masih mahasiswa” jawabku singkat tanpa melihat ke arahnya.

“Hahaha...” Ia terkekeh dan berhasil membuatku sedikit kesal dengan tingkahnya. “Sudah kuduga tebakanku akan salah, mana ada orang mau lamar pekerjaan memakai sweater dengan sepatu kets, dan buku-buku di pangkuannya.” Ia mengangkat kedua alisnya sembari menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki

“Jangan kesal ya... Aku tak bermaksud menyinggungmu, aku hanya ingin menyapamu biar tidak terlalu canggung, karena aku rasa menanyakan nama bukan lagi style perkenalan di jaman sekarang, bukan?”. Dia memberi penjelasan seakan-akan tahu aku merasa sedang terganggu dengan perkataannya.

Aku tersenyum ragu membalas ucapannya.

Hanya sepersekian detik, kami kembali sepi. Mungkin saja saling mengutuk dalam diam. Lebih baik tidak banyak bicara dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal dan mungkin dia juga tengah menilaiku sebagai orang yang membosankan. Ah! Biarlah.

“Ah bosan sekali. Novelku ketinggalan”, ujarnya sambil bersandar pada kursi bus dengan mata tertutup dan posisi kedua tangannya yang dilipat di depan dada.

Mengapa seakan-akan dia mencari perhatianku? Batinku waktu itu, namun aku tak menggubrisnya sedikitpun. Karena memang tidak tertarik dan tak ingin tahu-menahu urusan dia. Aku memalingkan wajah ke jendela menatap hujan yang kembali deras. Entah sampai kapan hujan ini akan berhenti, padahal menurut perkiraan cuaca hujan berakhir pada jam 17.00 dan untuk selanjutnya hanya berawan. Ah! Sudahlah, yang terpenting aku sudah menuju rumah.

“Hufft ya sudahlah, hujan begini paling pas juga dengerin lagu-lagu Bethoven”, ujarnya yang berhasil membuyarkan monolog batinku. Perempuan itu mengeluarkan airpods dari tas selempang yang juga dia kenakan.

Aku menoleh ke arahnya dengan alis sedikit terangkat.

“Kamu suka juga?” Duganya seakan-akan bisa menebak raut wajahku. Apakah ekspresiku berlebihan sehingga ia dapat membaca ketertarikanku? Ah, no one’s care!

Aku mengangguk mengiyakan. “Saya mulai menyukainya baru-baru ini” jawabku jujur yang merujuk pada lagu-lagu Bethoven itu.

“Wah....ternyata kamu suka lagu-lagu klasik ya.... Aku tidak menyangka masih ada yang menyukai lagu-lagu klasik. Lihatlah ini! Aku seorang Celloist di sebuah grup orkestra, aku membawanya untuk latihan malam ini” Dia memamerkan dirinya sembari menunjukkan sebuah cello yang disandarkan di depan kakinya itu. Dia pun berbagi cerita mengenai sejarah-sejarah dari lagu-lagu itu dan tak lupa, ia juga merekomendasikan beberapa lagu-lagu klasik selain karya Bethoven yang hanya aku balas dengan anggukan. Aku memang tidak merespon lebih. 

Hujan masih deras, hingga tak terasa aku telah sampai di halte depan kompleks rumahku. Perempuan yang tadi itu turun lebih dulu dua kilometer sebelum kompleks rumahku. Ketika aku hendak turun dari bus, tiba-tiba seorang pemuda menepuk bahuku. Aku pun menoleh ke arahnya, jika dilihat dari pakaiannya dia adalah pelajar SMA. Kemudian dia menyodorkan sebuah lipatan kertas tanpa berkata sepatah pun padaku.  Aku sedikit kebingungan waktu membuka lipatan kertas itu, isinya adalah sebuah gambar. Namun sayangnya pemuda itu langsung hilang sebelum aku sempat bertanya apa maksud dari kertas yang dia berikan. Ah biarlah, aku tidak mau terlalu memikirkannya karena otakku sudah lelah, dan badanku minta untuk diistirahatkan.


***

Hari ini sudah memasuki hari kedua di pertengahan Oktober. Udara mulai semakin dingin, dan akhir-akhir ini langit tidak hanya mengabu-abu, tetapi juga kerap menggerutu. Bulan ini adalah milik para pemuja hujan, ranting-ranting yang sudah ditinggalkan oleh daunnya, tanah yang sudah kehausan, dan angin yang sudah merindukan kedamaiannya, pun bagi orang-orang pluviophile, sebutan mereka yang menyukai hujan. Hal itu juga tak bisa aku tolak, sebagai warga negara beriklim tropis, aku lebih menyukai musim hujan, tetapi aku juga tidak suka ketika harus kehujanan seperti sekarang ini.

Jarak gerbang kampusku ke Halte 04, sebenarnya tidak terlalu jauh, kurang lebih sekitar 15 meter, seharusnya aku tidak perlu terburu-buru. Akan tetapi hujan sore ini turun secara tiba-tiba tanpa terprediksi sebelumnya, dan benar-benar deras seperti kemarin. Aku pun berlari menuju halte sambil melindungi kepalaku dengan tas dengan harapan supaya tidak basah kuyup. Alhasil, tetap saja, meskipun tubuhku tidak kuyup sempurna, kehujanan cukup membuatku sedikit menggigil. Ah, ditambah lagi sekarang aku harus berbagi atmosfer dengan orang-orang dingin di halte ini. 

Tidak seperti kemarin, halte ini kembali diramaikan oleh para penghuninya yang masih seperti orang mati pada hari-hari biasanya. Tidak ada pilihan lain untukku selain berdiri, karena kursi halte sudah penuh. Atmosfer yang kurasakan sudah seperti biasanya, masih dengan suasana dan udara yang sama, sangat hening dan dingin namun terasa berisik oleh berupa-rupa ketakutanku. Tidak ada sepatah katapun dari orang-orang ini selain gemericik hujan dan suara gemuruh yang saling beradu pandang. Oh, sungguh suasana yang tidak aku sukai, seperti sedang berusaha menyapih tangisan di tengah area pemakaman.

Aku merogoh saku depan tasku untuk mencari keberadaan ponselku, bermaksud untuk mengecek prediksi hujan hari ini di toolbar ramalan cuaca. Namun, belum sempat aku membuka layar ponsel, tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh ke arah pelakunya, perempuan yang kemarin rupanya. Sama seperti kemarin dia setia dengan cello di punggungnya, akan tetapi penampilannya lebih baik dari kemarin. Sedangkan aku terlihat sangat kacau hari ini akibat kehujanan.

“Hai, kamu yang kemarin, kan?” Sapa perempuan Celloist itu sambil terseyum ke arahku dengangan memperlihatkan gigi-giginya yang tersusun rapi.

“Iya kak” ujarku sedikit canggung karena dia adalah orang pertama yang menyapaku di halte ini selama kurun dua tahun.

“Bagaimana lagu-lagu yang sudah aku rekomendasikan? sudah kamu dengar?” Perempuan celloist itu bertanya padaku yang seakan-akan mengingatkan aku. Sekarang posisi kami sudah duduk bersebelahan di kursi halte.

“Masih belum sempat, hehe”, Jawabku sambil menyengir canggung.

“Kamu harus dengerin, nanti kalau kita sudah di bus aku bakal kasih playlist-ku” ujarnya yang dijawab dengan anggukan setuju olehku.

Tak perlu menunggu lama seperti halnya kemarin, pukul 16.50 bus datang tepat waktu meskipun hujan masih cukup deras. Tanpa aba-aba perempuan itu menarik tanganku, lantas menggiringku untuk segera menaiki bus. Tanpa protes, aku menurut saja seperti seekor anjing yang mengekor pada majikannya. Setelah kami berada di dalam bus, Perempuan itu mempersilahkan aku untuk duduk di dekat jendela, sedangkan dia duduk di sampingku. Kami pun duduk bersebelahan persis peserti kemarin

Anehnya orang-orang yang berada di halte itu tidak segera menaiki bus ini sampai bus pergi meninggalkan wajah mereka. Apa yang terjadi? Apakah kali ini aku salah bus? Perasaan ini memang bus yang sering aku naiki, supirnya pun sama. Aku memastikan lagi dengan melihat daftar jurusan yang terdapat di papan yang tergantung pada atap bus. 'Benar, aku tidak salah bus' tegasku membatin. Baiklah tidak ada waktu untuk memedulikan hal itu, badanku sudah lelah aku ingin segera pulang.

Bus ini lumayan sepi hari ini, hanya terdapat tujuh penumpang termasuk aku dan perempuan Celloist ini. Selain kami berdua, terdapat dua orang pegawai kantor, seorang pria paruh baya bersama anaknya, serta seorang pelajar SMA yang kemarin. Bus ini hanya sepi oleh penumpang. Namun tidak bagiku, baru kali ini suasananya begitu menyenangkan dan cukup menghibur. Perempuan Celloist itu berhasil mengubah suasana mengerikan ini.

Dia menceritakan kesehariannya sebagai seorang barista di sebuah kafe. Jika dilihat dari ekspresinya saat bercerita, sepertinya ia sangat menyukai pekerjaannya itu. Tak heran memang, postur seorang barista juga cocok untuknya, meskipun menurutku dia mungkin bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dari itu. Sepulang dari bekerja, dia berkata akan ke tempat latihan orkestra musik klasik setiap malam. Perempuan Celloist itu juga mengkisahkannya padaku betapa berharganya orkestra musik klasik bagi hidupnya. Aku sangat iri dan sedikit minder mendengar ceritanya, dia menemukan kebahagiaan di balik kesibukannya. Sedangkan aku? Lihatlah seperti tidak memiliki euphoria sama sekali. Aku membandingkannya dengan diriku yang tiada hari tanpa mengeluh, seperti semua energiku telah terkuras selama di kampus.

Ketika masih asyik mengobrol, tiba-tiba perempuan itu berpamitan padaku untuk turun lebih dulu setelah mengecek ponselnya, sepertinya dia mendapat sebuah pesan. Dia pun melambaikan tangannya ketika dia sudah di luar bus. 'Mungkin dia akan dijemput oleh kekasihnya dan orang yang menghubunginya barusan adalah kekasihnya itu' aku menduganya dalam hati.

Hujan sudah reda sejak tadi. Namun, udara yang semakin dingin membuatku tak sadar hingga terbuai di dalam mimpi. Hingga aku terbangun ketika bus berhenti di depan kompleks rumahku. Rupanya aku tertidur pulas sambil bersandar ke kaca jendela bus. Dan ketika aku hendak beranjak dari kursi bus, Ku dapati sebuah lipatan kertas yang jatuh dari pangkuanku. Aku menduganya pasti pelajar SMA itu. Sebenarnya aku tidak terganggu dengan hal ini, namun ini cukup berhasil membuatku sedikit penasaran. 


***

Sore ini masih mendung, namun tidak hujan. Udara juga masih dingin tapi tidak menggigilkan. Aku berjalan hampir sampai pada halte. 'Sepi', satu kata itu mampu mendeskripsikan keadaan halte 04 pada saat itu. Aku mengecek jam di ponselku, “ah! pantas saja.” ujarku setelah melihat angka 16.00. Tanpa ber-drama aku langsung duduk di kursi halte sebagai penghuni pertama yang tiba lebih dulu.

Setelah beberapa lama aku duduk di halte. Munculah dua penghuni lainnya yang disusul oleh kedatangan perempuan Celloist itu dari arah yang berlawanan. Aku melambaikan tangan padanya, dia pun membalasnya, kemudian berlari-lari kecil menghampiriku. 

Sambil menunggu bus, kami saling berbagi cerita, pembahasannya tidak hanya seputar lagu-lagu klasik, akan tetapi kami saling bercerita tentang keseharian kami, aku yang mengeluh karena tugas-tugas kuliah, dia mengeluh karena menunggu jadwal penampilan orkestranya terasa sangat lama, padahal tinggal menunggu 3 hari lagi. Ku rasa kami sudah akrab meskipun tak saling tahu nama hingga kini. Memang benar, terkadang orang-orang lebih nyaman berinteraksi dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal, dan karena hal itu, aku merasa akhir-akhir ini, Halte 04 sudah mempunyai kehidupan, meskipun beberapa orang penghuni halte ini menatap kami dengan tatapan yang sulit aku terka maksudnya.

Di tengah asyik kami mengobrol, tiba-tiba seorang anak perempuan kira-kira masih berumur lima tahun menghampiriku dan berdiri di depan ku sambil celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri, kemudian bertanya “Kakak kenapa bicara sendiri?” tanyanya dengan ekspresi penuh penasaran.

Aku menyerngitkan dahi. Jelas pertanyaannya telah mengundang pertanyaan juga bagiku. Tanpa aku jawab sekalipun, bukankah sudah jelas ada seorang perempuan dewasa yang duduk di sampingku dan kami tengah mengobrol. Aku sempat melirik ke arah perempuan Celloist itu, dia terlihat sama sekali tidak peduli dengan pertanyaan yang diajukan oleh anak kecil tadi padaku. Namun, belum sempat aku meresponnya, tangan anak kecil itu langsung ditarik oleh Ibunya. 

“Sini, jangan ganggu Kakaknya”. Ibunya tersenyum sambil sedikit menunduk padaku pertanda meminta maaf atas perlakuan anaknya. Aku pun memakluminya dan membalasnya hal serupa, tanpa berkata apa-apa. 

Tanpa menunggu lama, bus pun tiba di depan halte. Dan tanpa ba-bi-bu semua penghuni halte 04 yang semulanya sibuk mengasuh keheningannya masing-masing terperanjat seperti mayat yang bangkit dari kematian, lantas langsung naik dengan tertib, termasuk aku. Kecuali perempuan Celloist itu yang masih tertinggal di halte. Dia mengatakan padaku bahwa ia harus menunggu seseorang di halte itu. 

Seperti biasanya, aku memilih duduk di samping jendela sambil melihat pemandangan diluar. Langit masih mendung, udara yang semakin menggigilkan. Meskipun belum hujan, urat-urat petir sudah nampak jelas di wajah langit. Sepertinya ramalan cuaca benar, malam ini akan turun hujan petir. Suasana di dalam bus juga sama seperti biasanya, sangat hening dan tak ada penumpang yang saling mengobrol, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Atmosfer seperti inilah yang kerap membuatku mengantuk. Kesadaranku sudah tidak bisa menahan kelopak mata yang kini berasa begitu berat, hingga tak terasa aku sudah memejamkan kedua mata.


***

“Zzrass!!”

Aku tersadar dari tidurku, merasakan tubuhku yang sedikit menggigil dan wajahku yang juga terkena tempias air hujan. Aku kesulitan membuka mata, kepalaku cukup nyeri dan penglihatan ku sedikit berkunang-kunang. Aku masih berusaha untuk duduk, karena aku merasakan aku tertidur dengan posisi terbaring. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa hari sudah gelap, dan yang membuatku lebih kaget adalah ketika aku mendapati diriku yang ternyata sejak tadi tertidur pulas di kursi halte tadi, ya halte 04 dengan posisi seorang diri tanpa ada satu orangpun. Jalanan di depanku pun sangat sepi, tidak terlihat laju kendaraan satu pun di sana. 

Aku masih ingat dengan jelas bahwa tadi sore aku sudah menaiki bus menuju rumah, lalu bagaimana bisa aku terbaring tak sadar di halte ini? Banyak pertanyaan yang memenuhi kepalaku. Namun, saat ini ketakutanku lebih besar dari rasa penasaranku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung merogoh isi tasku untuk mencari keberadaan ponsel. Ketika berusaha mencari keberadaan ponselku, kudapati sebuah kertas ada di dalam saku tasku, kertas yang sama seperti yang biasa aku terima dari seorang pelajar waktu itu. Tanpa memikirkan kertas itu, aku membuka layar ponsel, rupanya banyak notifikasi pesan dan panggilan tidak terjawab dari orang-orang rumah, sudah ku pastikan mereka sedang menghawatirkanku. Aku pun langsung menelpon ayahku untuk menjemputku dan memberikan kebohongan bahwa terdapat kelas tambahan sampai malam dan aku tidak sempat menghubungi mereka karena ponsel ku yang kehabisan daya. Sudah aku bayangkan bagaimana kekhawatiran mereka. Kemudian Ibu menyuruhku untuk tidak mematikan telponnya sampai Ayah tiba. 

Dua puluh menit kemudian, Ayahku tiba dengan motornya lengkap mengenakan jas hujan. Sebelum aku naik ke atas motor, aku sempat melihat kea rah rumah besar di seberang halte ini. Ada seseorang berdiri dan terlihat sedang memerhatikan ku di balik jendela kaca rumah itu. Wajahnya tidak terlalu jelas. Akan tetapi aku masih bisa menebaknya bahwa orang dibalik jendela kaca itu adalah sesosok perempuan yang mengenakan gaun. Aku tidak terlalu memedulikannya dan langsung pulang bersama Ayah.


***

Pukul 17.00. Sore ini langit sedikit bersahabat dengan hari Sabtu. Tidak mendung, tetapi juga tidak terlalu cerah menyengat, sehingga aku bisa menyaksikan detik-detik terakhir senja yang tengah mengulum siang. Udara pun masih sejuk dan sedikit lembab, sebab semalam hujan lebat mengguyur seluruh kota. Hari ini cukup menenangkan untuk menyambut akhir pekan. Namun hal itu tidak berlaku di halte ini. Atmosfer halte ini kembali seperti semula, hening dan dingin.

Sejak dua hari yang lalu, suasana di halte ini semakin mencekam rasanya. Hal-hal aneh dan tidak menyenangkan mulai aku rasakan dari sikap penghuni halte yang tak jarang menatapku dengan aneh. Namun setelah aku tatap balik, mereka langsung melengos dan menatap ke arah lain. Aku tidak suka dengan tatapan mereka, di sisi lain aku juga tidak berani menegur apalagi menanyakan alasan dari sikap mereka. Biarkan saja, bukankah penghuni halte ini memang sekumpulan orang-orang yang aneh? Aku menepis kerisauanku.

Suasana mencekam ini, kembali aku rasakan setelah dua hari ini aku tidak melihat keberadaan perempuan pembawa cello di punggungnya itu. Dia sama sekali tidak terlihat di sekitar halte maupun di dalam bus. Dia tiba-tiba saja menghilang seperti hanya hidup di dalam imajinasi ku. Dan anehnya lagi belakangan ini aku tidak lagi menerima sebuah lipatan kertas seperti biasanya semenjak terakhir aku mendapatkannya di dalam tasku ketika pingsan di halte. Ya, aku menyimpulkan bahwa kejadian di halte tempo hari itu, aku sedang pingsan. Karena memang sampai sekarang pun aku tidak bisa mengingat hal-hal yang terjadi sebelum aku bisa terbaring di halte ini.

Halte ini memang menyeramkan, aku bergidik ngeri. Sebenarnya bisa saja aku tidak usah memikirkan hal-hal negatif yang bisa merusak akhir pekanku. Aku cukup menunggu bus dan pulang ke rumah dengan selamat. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal rupa-rupa kengerian yang tengah aku rasakan sekarang. 

Dua puluh menit berlalu dalam sebuah perjalanan horor yang mengerikan. Tanpa mengasuh keseraman itu lebih lama, aku segera turun dari bus setelah pintunya terbuka untuk menurunkan sebagian penumpangnya. Lantas ketika aku sudah berada di luar bus, tanpa sengaja dari balik kaca bus aku mendapati perempuan Celloist yang akhir-akhir ini menghilang dari pandanganku tengah duduk di kursi paling belakang, wajahnya murung dan penampilannya juga sangat berantakan, kepalanya menunduk hingga aku bisa melihat tengkuk belakang lehernya yang menekuk belah rambut panjangnya yang terurai. Aku tetap memperhatikannya dari belakang bus hingga bus kembali melaju meninggalkan pemberhentianku dan yang tertanggal hanya rasa khawatirku tentang perempuan yang aku kenal itu (?).


***

Kakiku terasa berat untuk berjalan menuju halte. Apalagi angin sedikit kasar membelai ruang-ruang udara. Di samping itu, penampakan alam terasa lebih gelap dari hari kemarin. Aku menatap langit di sepersekian detik. ‘Sepertinya akan turun hujan’ batinku. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 di layar ponselku. Hari Senin memang menjadi awal rutinitas kepadatan jadwal kuliahku. Aku pulang agak lambat hari ini, karena sehabis kuliah aku masih mengerjakan projek bersama teman-temanku. Dengan langkah yang sedikit berat aku berharap bus masih belum melewati halte 04. 

Aku bersyukur sekali masih mendapati bus yang stay di depan halte 04. Aku melangkah sedikit cepat. Namun, yang membuatku sangat heran adalah halte yang biasanya sepi meskipun banyak penghuninya, hari ini ramai sekali, aku bisa mendengarkan suara orang-orang di sana meskipun tak jelas apa yang sedang mereka perbincangkan. Bahkan ketika aku memperhatikan dari jauh, hari ini orang-orang lebih banyak dari penghuni halte biasanya. Karena aku sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi di sana, aku pun semakin mempercepat langkahku menuju halte itu.

Sesampainya di halte sebagian orang menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit aku tebak. Seperti biasanya, aku sama sekali tak menggubris tatapan mereka, karena rasa penasaranku lebih besar pada sumber kerumunan, lantas akupun memberanikan diri mendekat ke arah kerumunan itu. Dan betapa ngeri, ketika di depan mataku tergeletak mayat seorang balita perempuan yang sudah memucat di dalam tas cello. Sekitar wajahnya lebam seperti habis ditampar dan di bagian belakang kepalanya ada bekas darah kering yang membuat rambutnya sedikit menggumpal, seperti habis dibenturkan pada benda keras. Aku juga melihat sayatan-sayatan panjang juga tergambar di sekitar lengan dan betisnya. Siapapun yang melihatnya akan mengatakan bahwa ini adalah penganiayaan.

Aku menatap tubuh malang yang sudah memucat itu tengah menjadi tontonan orang-orang di halte ini. Hanya ada raut ketakutan di wajahnya, seakan-akan dibalik kelopak matanya yang juga lebam aku sedang mendengar suara-suara jeritan yang mengoyak-ngoyak dadaku. Tak ada yang menolongnya, sebelum balita tidak berdosa itu membeku dengan lutut yang ditekuk hampir menyentuh dahinya. Tangan kanannya berada di atas kedua betisnya sambil menggenggam busur cello. Sedangkan tangan kirinya, hah? Dimana keberadaannya? Aku membelalakkan mataku untuk yang kesekian kalinya, tangan kirinya tidak ada. Seketika sekujur tubuhku kembali bergidik dan terasa nyeri menjalari urat-urat nadiku. Aku merasa pusing dan mual menyaksikan langsung kekejian itu. 

Sama halnya dengan orang-orang yang menyaksikan kejadian sore ini, segala macam pertanyaan terus bermunculan di kepalaku. Tidak ada yang mengenali mayat gadis kecil itu, namun segala prasangka tertuju pada sang pemilik tas cello adalah pelaku yang sampai detik ini tidak diketahui keberadaannya. Aku sempat berharap kejadian sore ini adalah mimpi atau bahkan hanyalah imajinasiku. 

Ilusi-ilusi yang melekap pada atap halte dan rintik-rintik hujan yang memenuhi udara menggrasak riuh dalam kepala, sampai-sampai aku tidak sadar orang-orang sudah menaiki bus dan tinggal aku seorang yang masih mematung di depan. Tiba-tiba aku disadarkan oleh suara klakson bus, tanpa menepis ingatanku pada kejadian barusan aku langsung menaiki bus. Sedangkan, beberapa petugas kepolisian tengah melakukan olah TKP dan korban sudah dievakuasi ke rumah sakit beberapa menit yang lalu sebelum aku meninggalkan Halte 04.

 

***

Kini aku berada di dalam bus dengan pikiran yang masih masih tertinggal di halte tadi. Nampaknya semua kursi bus sudah dipenuhi oleh para penumpang, hanya tinggal kursi di samping supir yang kosong. Aku tak punya pilihan lain selain duduk di kursi itu. 

Aku duduk fokus menghadap ke depan, menatap hujan yang kembali mengguyur ruas jalan. Tidak seperti biasanya yang terlihat hening dan terasa dingin, bus ini sangat ramai oleh bisikan para penumpang, terasa sedikit pengap dan menyesakkan bagiku. Baru aku menyadari suasana ini jauh lebih mencekam, di-ngerikan oleh gosip dan rumor yang dibuat oleh para penumpang. Di sisi lain, aku sama sekali tak memedulikan apa yang sedang mereka perbincangkan, karena aku sudah menduganya bahwa kejadian tadi adalah sumber perbincangan mereka. Tak ayal, pikiranku juga masih berkutat dengan kejadian yang baru saja aku saksikan di halte 04. Rasa penasaran, takut dan risau memenuhi ruang batinku. 

Alam bawah sadar-ku tersentak ketika supir bus tadi menyodorkan sebotol air ke arahku, dan berkata, “Dik, apakah Adik tidak melihat isi kertas yang biasa Adik terima dari seseorang?” Supir bus itu membuyarkan segala lamunanku.

Aku menoleh kearahnya sambil menerima sebotol air itu dari tangannya. Di waktu yang sama, aku pun sedang berusaha menerjemahkan pertanyaan supir itu kedalam ingatanku. Kertas apa yang beliau maksud? Aku mengembalikan ingatanku pada waktu-waktu sebelum kejadian di halte tadi. Akhir-akhir ini aku memang sering mendapatkan selembaran kertas pamflet, yang berisi promo barang, tour wisata dan acara pertunjukan musik. Akan tetapi, untuk apa beliau memerlukannya? Sebab di dashboard busnya, aku mendapati tumpukan pamflet promo lebih banyak dari yang aku punya.

Kemudian aku teringat pada lipatan tiga kertas yang masih aku simpan di saku depan tasku. Dan aku segera mengambilnya. “Maksud bapak ini?” Aku memperlihatkan tiga buah kertas yang aku peroleh dari pelajar SMA waktu itu padanya. Beliau pun mengangguk membenarkan.

Aku memperhatikan ketiga gambar itu lebih jeli. Gambar pertama adalah seorang perempuan dengan rambut yang digelung ke atas. Dengan percaya diri, awalnya aku kira perempuan di gambar itu adalah aku, karena aku terbiasa mencepol rambutku ketika berada di dalam bus. Namun ketika kulihat lagi, perempuan Digambar itu adalah gambar seorang perempuan Celloist ketika konser orchestra musik klasik. Aku sudah menyadari bahwa gambar kedua adalah sebuah cello, namun aku baru menyadari bahwa cello itu digesek dengan sebuah pisau bukan dengan busurnya. Dan gambar yang ketiga adalah sebuah halte di tengah tempat pemakaman umum. Aku pun menyadari bahwa halte yang digambar adalah Halte 04. Aku membelalakkan mataku tidak percaya dengan semua ini.

“Wanita yang membawa biola besar itu berbahaya, Dik. Saya rasa juga, para penumpang lainnya juga menyadari dari tingkah anehnya” Supir itu memberikan sebuah jawaban dari teka-teki ini. Sedangkan pikiran dan perasaanku sedang dicampur aduk.

Aku mengira gambar-gambar yang aku peroleh dari pelajar SMA itu tak lebih dari sekedar keisengan dia. Namun, setelah kejadian ini, aku baru bisa memahaminya sekarang. Sekujur tubuhku kembali bergidik ngeri, jantungku tetap berpacu cepat menciptakan dentuman irama yang menyesakkan dadaku. Akan tetapi, pernyataan dari supir bus itu memunculkan pertanyaan baru di kepalaku, ‘jadi maksud supir ini, perempuan Celloist itu adalah pelakunya?’, dan melalui gambar ini pelajar SMA itu berusaha memberiku sebuah peringatan untuk menjauhinya?’. 

Pikiranku yang pada awalnya buntu, kini menjalar ke pertanyaan-pertanyaan di luar nalar, bagaimana bisa hanya diriku yang tidak menyadari keanehan dari perempuan itu, sedangkan para penumpang lainnya sudah mengasuh dugaan-dugaan itu sebelumnya. Kini aku juga menyadari tingkah dari para penunggu Halte 04, sebenarnya orang-orang bukanlah malas bergaul, namun memberi jarak pada orang yang baru mereka kenal adalah bentuk kewaspadaan terhadap diri mereka sendiri.

Sembari menyetir supir itu bercerita sedikit mengenai kejadian tadi. Kejadian itu berlangsung sekitar dua menit sebelum bus tiba di halte 04. Sekitar pukul 16.50, mayat balita itu ditemukan oleh seorang buruh pabrik yang tidak sengaja melihat tas cello yang berada di bawah kursi halte. Menurut informasi, buruh pabrik itu berniat untuk memindahkannya keatas kursi halte. Namun ia melihat helai-helai rambut yang sedikit keluar dari tas cello itu. Tanpa berpikir panjang, ia membuka dan dicek isi tas itu. Bisa dikatakan bahwa rasa penasaran adalah penyakit yang selalu bisa menjangkiti setiap orang. Dan dari hasil dari rasa penasarannya, buruh pabrik itu mendapati mayat seorang balita perempuan di dalam tas cello itu.

Antara yakin dan ragu dengan prasangka yang meramaikan isi kepalaku, sebelum aku menyadari kejadian yang telah aku saksikan beberapa menit yang lalu lantas mengaitkannya dengan apa yang telah aku alami di hari-hari sebelumnya, dengan jujur aku tak bisa menyangkal atas prasangka dari beberapa penumpang bus yang menyatakan bahwa perempuan Celloist itu adalah tersangka utama kejadian ini, dan dilihat dari tas cello itu sebagai salah satu barang bukti, kecurigaan-kecurigaanku tertuju padanya. Namun, disisi lain aku masih berharap seseorang yang melakukan perilaku keji itu bukanlah dia. 


***

Langit sore ini masih mengkelabu sehabis hujan tadi siang. Kerisauan masih berdesir di sekujur tubuhku. Aku yang dulunya menyukai atmosfer alam ketika hujan, sekarang menjadi selalu cemas ketika turun hujan. Alunan lagu-lagu klasik kerap mengalir di dalam pendengaranku tanpa aku ingin. Begitu pula dengan ketakutan-ketakutan atas prasangka itu yang masih hadir mengisi hari-hariku. Bukan aku sudah membenci hujan, hanya saja ada sebuah perasaan yang sangat sulit aku jabarkan, bahkan untuk diriku sendiri. 

Sore ini adalah kelas terakhirku di semester ini. Aku pun tak sabar untuk segera pulang ke rumah lantas merencanakan kegiatan untuk hari liburku. Sama seperti hari-hari biasanya, aku masih disini, di kursi Halte 04, duduk menatap jalanan yang akhir-akhir ini sering basah dan semakin lembab, dan di sela-sela waktu itu aku menikmati aroma udara yang menguap dari aspal menelusup inderaku. Rasanya baru kemarin aku menyaksikan hal-hal mengerikan yang mampir dalam cerita hidupku, sebelum aku memerhatikan pohon-pohon yang sudah merampakkan dedaunanya dan menandakan kejadian itu berlalu cukup lama. Para penghuni halte ini pun kembali bersikap seperti biasanya. Namun, benar saja beberapa memori yang berusaha kita buang, justru gencar  mengusik ingatan dan kian riuh mengadu domba kejiwaan. 



Oktober, 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Glimpses of Us

Tinker Bell di Ladang Tebu

Keluarga Kedua