Tinker Bell di Ladang Tebu
.jpeg)
Hari itu senja hampir berada di ujung nasibnya. Udara pun sedang berusaha menggigilkan tengkuk leherku. Ditambah dengan anak-anak kabut mulai turun secara bergantian dan mulai menjamah jarak terjauh yang sebelumnya bisa aku gapai. Atap-atap rumah warga juga mulai lembab dan warna tebing menjadi lebih mengkilap dari biasanya. Di sisi lain, sepasang kakiku saling berlomba untuk menebas jarak. Desir-desir angin berbisik di antara suara tapak sepatuku dan juga di antara tarian rumput-rumput liar yang saling menyorakiku kala itu. Mereka adalah saksi atas kegiranganku sore itu, kegirangan yang membuat aku terus berlari tanpa henti, seperti tengah menantang matahari yang juga sedang berada dalam perjalanan pulang menuju peraduannya. Aku tak peduli meski beberapa kali kakiku tersandung karena terus bersinggungan dengan jalan yang tak rata, dan yang hanya ada di pikiranku kala itu adalah kemenanganku atas matahari sebelum malam lebih dulu melumat hari. Gejolak langkahku semakin kencang ke...